Sorry for the bad drawing, by the way...
#1 - bunny Kyu?

#2 Kyu, the genius gamer

#3 cheeky Yesung

“Mba positif hamil.”
What? Aku? Hamil?
Sebenarnya itu sangat masuk akal. Sangat sangat masuk akal. Aku ga datang bulan bulan lalu, akhir-akhir ini aku sering banget jadi super duper malas, dan suka pengen makan macem-macem (dari pentol bakso sampai waffle). Rasanya seperti ada bola dinyalain tiba-tiba di kepalaku. Omigod...ternyata karena aku hamil. Ck ck ck.
Walaupun sempet agak kesal waktu dokternya nanya dengan nada curiga, “mba sudah pernah berhubungan?” dan kujawab “ya iyalah, Dok, saya ini sudah nikah, tahu! Dokter pikir saya perempuan macam apa?!” (oke, itu yang kubilang dalam hati. Aslinya aku cuma bilang, “Pernah. Saya sudah menikah.” dengan kalem), aku bersyukur juga. Dan lega. Kupikir, kalau memang sakitku ini karena aku hamil, aku rela sakit kayak gimana pun lagi, asalkan bayi di dalam kandunganku baik-baik aja sampai waktunya dia lahir nanti.
Tapi sudah kubilang, ceritaku ga seserhana itu.
Setelah dengan santainya bilang aku hamil, dokter bilang lagi, ”Tapi saya belum tahu pasti bagaimana kondisi kandungan mba, jadi nanti mba saya alihkan ke orang-orang dari bagian kebidanan.”
Excuse me?? Setelah 3 jam menelantarkan saya, Anda bilang belum tahu pasti kondisi saya??? Sekali lagi, itu cuma kuucapkan di dalam hati. Aku cuma ngangguk karena tenagaku sudah nyaris habis.
Kira-kira setengah jam kemudian (nice, berarti totalnya aku ditelantarkan 3,5 jam), datang seorang bidan dan dua orang asistennya. Dan itulah awal mula dari fase ”penyiksaan”-ku di Rumah Sakit.
Bidan itu menduga, ada ”sesuatu” di kehamilanku, jadi dia mau periksa. I’ll tell you, guys, pemeriksaannya sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttt banget. Kayaknya sih istilah pemeriksaannya FT atau apa gitu, tapi yang jelas uterusku diobok-obok, dan perutku yang nyeri ditekan-tekan. Bayangin aja, gimana aku ga jerit-jerit. Terus setelah aku diobok-obok lagi untuk kedua kalinya sama asistennya, bidan itu bilang ke dua asistennya, ”kayaknya sih KET, ya kan?”
Wuih, tega nian. Habis disiksa gitu, aku ga dikasih tau apa yang salah sama aku. Okelah, kupikir mungkin mereka belum yakin. Berikutnya, udah lewat tengah malam, aku dibawa ke Kamar Bersalin buat di-USG. Di kamar itu ada ruang-ruang bersekat tirai di kanan kiri, dan satu area sirkulasi di tengah-tengahnya. Kupikir aku bakal di-USG di salah satu ruangan biar tertutup, ternyata TIDAK. Aku diberhentiin di tengah-tengah ruangan, dan prosedur FT yang tadi diulangi lagi sama bidan yang lain, kali ini sambil di-USG.
OMG.....selama aku disiksa, aku dengar banyak hal yang bikin aku makin stress di sana. Ada ibu yang susah banget ngelahirin anaknya, sampai harus disemangati sama buanyak bidan. ”Ayo, ibu, ngejen yang panjang, jangan pendek-pendek kayak gitu!” ”Kalau bukan ibu, siapa yang mau ngelahirin anaknya??? Saya?? Ibu mau tukar, saya yang hamil, gitu???”
Akhirnya anak itu lahir juga, dan bidan yang bawa anak itu lewat tepat di sebelahku. Mau ga mau aku lihat anak bayi mungil yang masih berdarah-darah. Dan anak itu ga nangis waktu lahir, bahkan setelah bermenit-menit. Berarti ada yang ga beres. Dari ruang lain, aku dengar ada dokter yang bilang ke pasien di sampingnya, ”Ibu, sudah siap kan kalau ternyata anaknya sudah meninggal?”
Ya Allah, kuatkan aku!!!
Setelah aku di-FT untuk keempat kalinya (catat, EMPAT kali) sama bidan lain yang lebih sadis ngobok-ngoboknya, dan semuanya bilang, ”Iya, kayaknya KET”, aku sampai ke fase kedua dari paket penyiksaan itu.
Warning: mulai dari sini mungkin bisa bikin kamu merinding, karena aku detail. Buat yang masih single, kusaranin tutup blog ini, and find something fun on the net:-)
Tanpa peringatan apa pun, uterusku dimasukin selang. I screamed. Tapi itu baru permulaan. Lewat selang itu, mereka masukin cairan bening entah apa ke dalam uterusku, dan dalam jumlah banyak. Kalau aku disuruh bikin daftar rasa sakit yang pernah kualami seumur hidup, yang ini ada di peringkat dua. And I sreamed my lungs out. Aku sampai mencengkeram tangan bidan yang ngelakuin itu. Seandainya bisa, rasanya pengen kutendang deh mereka. “#@*%$!!!! Sakit banget, tahu!!!!!!!”
Nah, habis semua cairan itu masuk, rasanya makin perih aja, dan aku ngerasa seperti mau pipis. Tapi bidan bilang ga boleh. Terus, aku kembali ditelantarkan kira-kira 15 menit. $#@%*!!! Setelah itu, baru aku di-USG lagi. Aku bisa lihat layarnya juga, tapi emang dasarnya Kedokteran bukan bidangku, ya aku ga bisa bedain yang mana rahim yang mana anakku. Tapi aku lihat ada gumpalan kecil di dalam sana. Seandainya bisa—dan ini ga mungkin—rasanya aku pengen nyuruh anakku itu melambaikan tangan dan bilang, “Ibu, ibu, aku di sini!!!” biar aku tahu itu dia.
Dan bidan-bidan terus aja bilang aku kena KET, dan aku ga tahu maksudnya. Setelah itu, aku dipindahkan lagi ke ruang lain, yaitu ruang khusus untuk masalah kebidanan. Tepat di luar ruangan itu, ada belasan pasien-pasien yang berdarah-darah yang lagi diobati, dan aku dibawa lewat ruang itu. Nice.
Di ruangan yang kayak ruangannya psikopat nyiksa mangsa-mangsanya, aku dipasangin infus. Well, no problemo. Aku ga takut suntik, dan dipasangin jarum infus cuma sedikit lebih sakit dari disuntik. Yang jadi masalah adalah, waktu aku dipasangi kateter. Itu selang yang ditanamkan langsung ke saluran kencingku biar aku ga perlu turun dari tempat tidur kalau mau buang air. Wuih, sakitnya naudzubillah. Lama banget lagi masangnya, dan si asisten bidan (yang kayaknya masih cukup baru) pake salah masukin segala jadinya sempet diulang lagi. Di situ aku jerit lagi, dan ternyata masku (I mean, my hubby) ada di balik tirai dan dia julurin tangannya biar bisa megang tanganku. Aku ingat waktu itu aku mencengkeram tangannya keras banget. Itu rasa sakit ranking 3.
Setelah itu, aku dibiarin semalaman di sana. Katanya, besok pagi baru aku dipindahin ke kamar. Di luar tirai, aku sempat dengar bidan itu ngomong dan jelasin soal penyakitku ke masku, tapi ga begitu jelas.
Aku cape, cape banget. Rasanya malam itu terasa kelewat panjang buat badanku yang sudah nyaris ga bertenaga. Akhirnya aku ketiduran.
Besok paginya, setelah birokrasi yang luamaaa buat mindahin aku ke kamar, akhirnya aku dipindahin juga dari ruang psikopat itu.
Dan aku tanya masku apa yang bidan bilang.
Aku hamil di luar kandungan.
Astagfirullah..........
Aku memang hamil. Ada janin di rahimku, tapi dia ada di tempat yang ga seharusnya. Mestinya dia ada tepat di tengah-tengah rahimku. Tapi anakku itu ada di tuba falopi, menyumbat saluran indung telur sebelah kananku.
Artinya, dia ga mungkin bisa dipertahankan. Aku harus ngerelain dia di”jinakkan” dengan obat, atau sekalian diangkat dari sana. Cuma itu aja yang bisa dilakukan. Kalau kupertahankan, tuba falopiku yang bakal pecah, dan aku bakal pendarahan di dalam rahim, bahkan bisa sampai keracunan kalau sampai menyebar ke mana-mana. Kemungkinan paling buruk kalau itu sampai kejadian, seluruh rahimku harus diangkat.
Aku berulang kali nyebut istigfar waktu itu.
Itu anak pertamaku. Anak pertamaku. Tapi aku ga bisa memiliki dia.
Waktu itu hari Sabtu, dan dokter bilang kondisiku masih cukup baik jadi belum waktunya dioperasi. Aku bakal dikontrol lewat tes darah 6 jam sekali (yeah, darahku diambil 6 jam sekali. Untung aku ga takut disuntik).
Kondisiku cukup baik hari itu, menurut versi dokter. Dan katanya mungkin baru hari Senin aku dioperasi. Oh, bagus. Bagus banget. Aku harus bertahan sampai Senin sementara aku tahu pada akhirnya anakku ga akan selamat, walaupun itu demi keselamatanku.
Dokter memang bilang aku baik-baik aja. Tekanan darahku normal, lingkar perutku ga bertambah, HB-ku masih 11. Tapi yang kurasain jauh dari baik-baik aja. Sepanjang hari, setiap detiknya, aku berusaha keras nahan sakit yang masih juga ga mau pergi dari perutku. Teman-temanku datang untuk menjenguk, itu cukup membantu (guys, I love you all), tapi senyumku benar-benar maksa.
Semakin sore, aku semakin kesakitan. Tapi aku coba bertahan.
Maghrib, aku sudah mencapai batas ketahananku. Aku sudah ga sanguup lagi nahan rasa sakitnya. Benar-benar ga sanggup. Aku ngerasa ga tahu harus gimana untuk bisa tahan bahkan untuk 1 detik lagi.
Perutku terasa menggelembung, dan nyeri luar biasa. Aku ga bisa jelasin gimana sakitnya lewat kata-kata. Yang jelas itu rasa sakit ranking 1. Aku bahkan sempat mikir apa aku bakal mati sebentar lagi.
Jam 7 malam. Dokter datang ramai-ramai ke kamarku, dan aku di-USG lagi, kali ini untungnya tanpa FT. Dan dokter bilang, aku pendarahan. Lingkar perutku yang nambah itu buktinya. Keputusan diambil. Aku naik ke meja operasi saat itu juga. Lupakan hari Senin.
Salah satu pelajaran yang kuambil dari pengalaman pertamaku diopname di RS hari itu: ”sebentar lagi” yang diucapkan dokter, perawat, dan bidan, berarti ”minimal 1 jam lagi”. Dan begitulah, walaupun keputusan operasiku jam 7, aku baru dibawa ke ruang operasi jam setengah 10. Ga usah tanya gimana aku bisa tahan 2 setengah jam dalam keadaan sakit ranking 1. I feel like I’m dying. Literally. Di depan mataku ada jam dinding, dan aku menghitung tiap detik yang lewat terasa seperti satu jam. Dan 5 menit terasa seperti 5 minggu. Kedengaran hiperbola. Tapi memang itu yang kurasakan.
Di ruang operasi, aku dibius total, beda sama operasi caesar yang biasanya bius lokal. Aku bener-bener ga tahu kapan aku tidur, dan berapa lama aku tidur. Aku cuma sempat berdoa untuk terakhir kali sebelum dokter bilang aku mau dibius.
Aku berdoa semoga aku baik-baik aja.
Aku berdoa semoga kalau aku nantinya ga baik-baik aja, orang-orang yang kutinggalkan bisa melalui itu.
Entah berapa lama waktu berlalu, aku bangun. Aku ga ingat apa-apa soal operasi, dan kesadaranku belum sepenuhnya balik. Pandanganku kabur, dan kepalaku bergerak-gerak tanpa bisa kukendalikan. Aku dibawa ke ruang lain, Recovery Room, dan aku dengar suara ayahku.
Selama lebih dari 24 jam, aku tetap di Recovery Room, ruangan yang seperti akuarium. Dindingnya kaca semua. Semua orang bisa ngelihat aku dan pasien-pasien lainnya, yang dalam keadaan mengenaskan: pake baju pasca operasi warna hijau dan terkapar dengan selang infus dan kateter menempel di tubuh, menunggu kentut. Hey, I mean it. Pasien-pasien pasca operasi di Recovery Room baru dianggap “pulih” dan boleh kembali ke ruangannya kalau sudah kentut. Dan selama belum kentut, aku ga boleh makan dan minum apa pun. Yummy.
By the way, pasien-pasien di ruangan itu rata-rata umurnya 30 tahunan, dan habis operasi caesar. Aku pasien termuda di sana. Jauh lebih muda. Dan itu dipertanyakan. Bidan-bidan di ruangan itu jadi hobi tanya-tanya soal aku. Aku sekolah di mana, masku kerja apa, orangtuaku kerja apa, dsb, dsb. Salah satu sahabatku kemaren berkomentar, ”Kamu memang makhluk langka. Semua penyakit aneh-aneh dan parah kamu embat. Kamu nikah muda. Dan di usia muda itu kamu ngembat penyakit baru yang ga semua WANITA dapat. Extreme, dude, extreme.”
Finally oh finally, ususku mulai bekerja normal, dan berakhirlah penantian panjangku di dalam akuarium itu. RRGGHHH...rasanya gemes dan ga sabar banget pengen keluar. Di dalam akuarium kerjaanku cuma tiduran, bolak balik menghadap kanan kiri, sementara keluarga dan sahabat-sahabatku berdiri di luar sana, melambai-lambai sambil tersenyum ke aku. Ya ampun, ya ampun, aku pengen keluar!!!
Sampai di kamarku lagi (aku dibawa naik kursi roda), aku disambut teramat sangat hangat sama semua orang. Oh, I miss them so damn bad.
Selama dua hari berikutnya, aku harus bed rest total, makan banyak, dan melatih mobilitas badanku lagi. Aku latihan duduk, berdiri, dan jalan. Makananku bertahap dari bubur sampai akhirnya aku boleh makan nasi. Ibuku bilang, kondisiku sekarang sama seperti orang yang habis melahirkan. Sama persis. Dan aku belajar banyak hal dari itu.
So that is.
Itu salah satu pengalaman terburuk sekaligus paling berharga yang pernah kualami. Buruk karena aku ngerasain sakit yang ga pernah kurasain seumur hidup (aku bahkan ga tahu ada rasa sakit yang separah itu). Buruk karena aku kehilangan bayi yang mestinya jadi anak pertamaku. Buruk karena aku harus terkurung berhari-hari di Rumah Sakit sementara agendaku minggu itu penuh deadline.
Tapi berharga karena aku jadi lebih bisa mensyukuri hari-hari waktu aku sehat. Berharga karena aku jadi lebih bisa merasakan betapa pemurahnya Allah. Berharga karena aku jadi benar-benar tahu bahwa keluarga dan teman-temanku menyayangiku.
Berharga karena aku jadi sadar aku sudah diberi kesempatan lagi. Dan aku harus bisa menjalaninya dengan lebih baik.
Guys, kesehatan itu mahal. Mahal materi, mahal tenaga, mahal waktu, dan terutama mahal emosi.
Jangan pernah merasa hidup kalian ga berguna. Kita diberi hidup dan kesehatan buat terus menjalaninya, bukan untuk disia-siakan. Kita semua punya tugas masing-masing yang dibebankan di pundak kita. Ga perlulah kita mengeluh masalah kita lebih berat dari orang lain. Wasting time banget. Yang penting adalah gimana kita bisa menjalankan tugas-tugas kita itu dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab.
Perlu kita ingat. Sementara sekarang kita sehat, bisa menghirup udara dengan bebas, berjalan ke mana pun kita mau, bergerak sesuka hati, bicara dengan lancar, dan tertawa dengan lepas, di waktu yang sama, di luar sana, ada orang-orang yang harus berusaha keras bahkan dibantu alat untuk mempertahankan napas terus masuk ke paru-paru mereka, harus kehilangan kaki atau duduk dikursi roda, terkurung di tempat tidur tanpa bisa ke mana-mana, ga bisa mengatakan apa pun yang pengen dikatakan, bahkan ga bisa lagi tertawa, karena sakit.
Bersyukurlah karena kita sehat.
Bersyukurlah karena kita hidup.
Dan bersyukurlah dengan menjalaninya dengan sebaik-baiknya.
Hoho, saudara-saudara sekalian. Aku minta maaf untuk postingan terakhirku. Ada sedikit kesalahan teknis, dan akan aku perbaiki sekarang. Dan by the way, ”Sehat itu mahal” sebelumnya kutulis 3 minggu-an yang lalu, tapi baru di-posting kemaren. Just so you know:-)
Sebelumnya aku tulis kalau aku sakit ginjal, gara-gara aku kurang minum dan sebagainya dan sebagainya. Tapi ternyata itu salah.
Setelah aku ”divonis” sakit ginjal, aku teramat sangat rajin minum air putih. Aku sengaja beli botol air minum di toko, dan selalu kuisi penuh sebelum kubawa ke kampus. Gosh, kayak anak kecil, kata teman-temanku. Whatever, yang penting aku bebas dari nyeri yang brutal itu. And yeah, I made an improvement. Dari aku yang biasanya cuma minum 3 gelas sehari habis makan, sekarang aku bisa habisin air sebanyak dua kali botolku, berarti kira-kira 1,6 liter. Oh, great!!! Aku sudah PD banget nyeri yang kemarin ga akan berani ganggu-ganggu aku lagi. Go straight to hell, you pain, ga perlu mampir-mampir dulu.
Ooops, tunggu dulu. The story just started here. Kira-kira dua minggu yang lalu, waktu aku lagi nunggu dosen yang katanya bakal telat satu jam tapi minta ditunggu (oh, power is sweetJ), aku ngerasa ada yang aneh sama perutku. Rasanya seperti nyeri bulanan (you know what I mean), dan memang si bulan sudah telat datang kira-kira 10 hari, jadi kupikir “ah, ini doank. I can handle this.” Ya udah, aku terusin nunggu dosenku tercinta itu di kelas sambil cekakak-cekikik ga jelas sama teman-temanku (biasalah, sindrom mendekati deadline). Nah, ternyata, sakitnya makin lama makin mengganas. Biasanya kalau aku mau datang bulan memang agak nyeri, tapi ga pernah sampe bikin aku bungkuk-bungkuk kayak the Hunchback niruin udang gini. Sakitnya buset binti buju buneng, rasanya seperti ada yang nge-squeeze perutku dari dalam, plus kadang-kadang nonjok juga. Serasa jadi sandsack.
Dasar memang aku sok kuat, kuterusin aja nungguin dosenku itu walaupun teman-temanku bilang mukaku sudah mulai biru nyaris ungu (percaya ato ga, itu juga kesan pertama teman-temanku ke aku, alias penyakitan *sigh*). Sebenarnya bisa aja aku pulang, tapi masalahnya, aku sudah bolos mata kuliah ini 3 kali gara-gara penyakit malas akut yang kuderita, jadi rasanya aku jahat banget kalau sampe bolos lagi. Lagipula kasihan
Itu kesalahan superbesar. Setelah kuliah berakhir (dan aku sama sekali ga nangkap apa pun yang diomongin sama dosenku itu. Please accept my apology, Sir...) sakitku bener-bener udah sampai stadium yang susah buat kutahan. Biasanya aku hobi nyembunyiin sakit dan berusaha ga bilang, ”aw, sakit...” karena menurutku kalau aku bilang gitu rasanya aku jadi bener-bener membenarkan rasa sakit itu jadinya terasa tambah sakit aja. Tapi kali ini beda. Sakitnya udah nyaris bikin aku jungkir balik frustasi, dan keluar juga kata itu dari mulutku.
”Sakit...”
Aku segera mengungsi ke kos temanku karena masku masih kerja. Di sana, ya aku ngakunya sakit bulanan, karena aku memang mikir gitu. Sahabat-sahabatku yang cantik-cantik dan baik hati itu segera ngasih aku pertolongan pertama. Aku dibaringin, diselimutin, dan dikasih minyak kayu putih. Biasanya sih memang ampuh, apalagi kalau aku tidurnya melungker. Tapi ternyata masih ga mempan juga. Mendekati Maghrib, sakitnya makin menjadi. Dari daerah perut sampai ujung kakiku ga bisa digerakin. Aku lumpuh. Bergerak dikit aja sakitnya bikin aku pengen nonjok orang. Akhirnya aku minum obat pain killer super ampuh yang biasanya kuminum. Tapi ternyata ga mempan, malah tambah sakit aja.
Oke, aku nyerah. Akhirnya aku hubungi masku, dan aku minta diantar ke dokter. FYI, aku teramat sangat ga suka ke dokter atau ke Rumah Sakit. Tapi karena akhir-akhir ini perutku sering banget sakit ga jelas dan sekarang aku malah jadi lumpuh, ya mau gimana lagi. Sekitar jam 8 malem, masku jemput, aku dituntun kayak orang tua sama teman-temanku. Bahkan aku dibantu temenku masang baju karena ga kuat bergerak. Aku menyedihkan banget deh.
Terus aku ke dokter praktek umum. Aku sendiri berspekulasi mungkin aku sakit infeksi usus, usus buntu, atau ginjal dan hatiku yang ga beres. Ternyata setelah diwawancara dan diperiksa sama dokter itu, beliau berkesimpulan ”Ini lambungnya mba yang sakit.”
Eit, tunggu. Ceritaku belum selesai.
Waktu dokter bilang aku sakit lambung dan ngasih aku resep obat yang—astaga—udah aku punya sejak lama di rumah karena memang aku punya sakit infeksi lambung, aku sampai terdiam. Bukan karena aku berpikir ”Astoge, ternyata cuma lambungku?” tapi justru ”Astoge, MASA’ cuma lambungku?”
Aku ga ngeremehin dokter itu. Bagaimanapun juga beliau ilmunya pasti lebih tinggi dari aku yang gudang penyakit ini. Tapi ga tahu kenapa aku yakin banget sakitku ini ga se”sederhana” itu. Buktinya, sampai di rumah aku malah jerit-jerit—bukan lagi cuma ngeluh—kesakitan. Aku ga main-main, kali ini rasa sakitnya udah nyaris meruntuhkan pertahanan terakhirku.
Akhirnya aku ke UGD. Dan percaya atau ga, aku ”ditelantarkan” 3 jam di sana. Cuma sesekali dokter atau perawat nanyain ”sakit apa, mba?” atau ”mana yang sakit?”, trus ngambil sampel darah dan urinku. UUUGGHHHH....rasanya aku pengen misuh-misuh nungguin lama ga jelas gitu. Apalagi ada jam dinding tepat di depanku, jadi semakin terasa deh tiap detik dari perjuanganku menahan sakit. Di kanan kiriku, di ruang rawat jalan, banyak pasien jerit-jerit karena sakitnya masing-masing, bahkan ada yang lagi dijahit muka dan badannya karena habis kecelakaan. OMG, makin stress aku jadinya.
Setelah tiga jam yang penuh penyiksaan fisik dan batin, akhirnya ada dokter yang dengan lempengnya bilang, ”Mba, hasil tes urinnya sudah keluar.”
Oke, now tell me what happened!!!!
“Mba positif hamil.”
…..
…..
…..
WHAT????!!!!
Dan begitulah saudara. Ternyata aku hamil. Rasa sakit yang brutal kayak orang barbar itu ternyata karena aku hamil. Karena ada calon bayi di rahimku.
Sekali lagi, se”sederhana” itukah?
Akan kulanjutkan di part 3.
Oh, by the way, have I told you I’m married?
Yep, I already became a Mrs. For more than a year:-)
“Whether it’s the best or the worst time, it’s the only time you got” –Art Buchwald
Ternyata aku terlalu cepat senang. Tepat seminggu yang lalu, waktu aku lagi kuliah studio 6 SKS yang sangat ‘mengasyikkan’ (dalam banyak arti), aku mulai ngerasa kayaknya maag akut alias sakit lambungku mau kumat karena aku lupa (sebenarnya sengaja dilupakan karena nyaris telat^^) sarapan. Karena udah pengalaman 3 tahun, aku langsung beli makan dan ga lupa minum obat maag dulu sebelum makan. Wah, aku udah PD banget sakitku ga bakal kumat. Yah, kalaupun kumat paling aku cukup membungkuk-bungkuk megangin perut selama beberapa menit lah, habis itu langsung fit dan lanjut ngerjain tugas.
Be careful what you wish for. Aku kena karma beneran deh. Sakit lambungku kumat!!! Jadilah aku meringkuk-ringkuk tak berdaya kayak trenggiling yang ngerasa kena bahaya. 5 menit...masih oke...masih bisa ketawa-ketawa sama teman-teman..... 15 menit...lumayan oke, masih bisa becanda ngaomentari temanku yang rada lugu (luemot dan guoblok)......30 menit...mati aku, bahkan ngikik aja bikin sakit di daerah perutku tambah parah. Gawat, gawat, ada yang ga beres. Ini ga kayak sakit lambungku yang biasa. Sakitnya lebih mengiris-ngiris, menohok-nohok, seolah-olah ada palu kasat mata yang mukul-mukul perutku dari luar dan dalam. Dan yang sakit perut bagian kanan bawah. Usus buntu? I dunno.
Akhirnya aku menyerah! Aku ngacir pulang, kembali ke pelukan guling-guling di kasurku yang empuk! Berbaring selalu jadi obat ampuh untuk hampir semua penyakitku, jadi kupikir ga perlulah lama-lama aku menderita. Ternyata oh ternyata, sakitku bukannya reda tapi tambah parah!!! No way!!! God, what’s wrong with me?? Kalau gini caranya aku ga akan bilang mendingan sakit lambung daripada sakit pencernaan.
Setelah dikonfirmasi ke sumber yang dapat dipercaya, muncullah sebuah kesimpulan: GINJAL-ku bermasalah.
Ya ampun, kok rasanya semua organ tubuhku ngantri buat kena sakit satu-satu. Dan lagi, apa tadi? G-i-n-j-a-l??? Ga keren banget (hush, mana ada sakit yang keren! Kecuali sakit mendadak kaya^^). Yang lebih ngeselin lagi, ginjalku tercinta itu sakit gara-gara aku kurang minum air. Yep, aku paling ga kuat minum air. Kalau dihitung-hitung mungkin aku cuma minum sekitar 3 gelas sehari, setelah makan. Padahal aku sering minum obat yang dosisnya tinggi-tinggi. Jadilah ginjalku ngambek karena bebannya jadi berat banget.
Dulu aku sering ngeremehin makan dan minum. Kalau diingetin, “ntar sakit lho...”, biasanya aku jawab, “kemarin aku telat makan ga pa-pa tuh, aku kan kuat, hehehe...” Setelah beberapa kali kumat, akhirnya aku dibilangin gini, “tuh kan. Belum tentu kamu ga kumat sekali artinya kamu baik-baik aja. Itu ibaratnya sakitnya ngutang, jadi numpuk-numpuk dulu di dalam tubuhmu, terus ntar tiba-tiba kumat parah.”
Sekarang kata-kata itu aku ingat terus (thanks to Joe Yabuki!), dan selalu kupake setiap kali ada temenku yang suka pake alasan yang sama kalau kuingetin makan.
Aku juga sempet berpikir, ”why me?”. Padahal ada banyak temanku yang juga ga hobi minum (sekalinya minum malah minum soda atau mabok sekalian), tapi mereka ga pernah kenapa-kenapa tuh. Heran
Sehat itu mahal, teman-teman. Bisa aja cuma karena hal kecil yang kita anggap remeh banget, suatu saat kita harus ngeluarin duit banyak buat nyembuhinnya. Ga mau banget jadi kanker (alias kantong kering) cuma gara-gara kurang minum atau sok selalu kenyang kayak aku kan?
So, mari sama-sama menjaga kesehatan. 4 sehat 5 sempurna, makan dan tidur teratur, olahraga teratur, dan jangan lupa yang paling penting: ibadah dan berdoa yang teratur. Karena sebenarnya kesehatan itu ga lain adalah pemberian-Nya.
Kita aja yang bandel suka nolak kado yang dikasih ”gratis” itu.