Friday 25 September 2009

Super Junior 4-koma manga

Hohoho.....berhubung aku lagi doyan Super Junior (band asal Korea yang anggotanya 13 orang yang personilnya pada pinter nyanyi dan gokil-gokil dan bikin sakit perut kebanyakan ketawa^_^), dan berhubung lagi liburan, iseng-iseng aku bikin komik 4 panel tentang mereka.

Sorry for the bad drawing, by the way...


#1 - bunny Kyu?
#2 Kyu, the genius gamer
#3 cheeky Yesung
...hope you like it^_^

Friday 17 April 2009

Sehat itu mahal......part 3

“Mba positif hamil.”


What? Aku? Hamil?


Sebenarnya itu sangat masuk akal. Sangat sangat masuk akal. Aku ga datang bulan bulan lalu, akhir-akhir ini aku sering banget jadi super duper malas, dan suka pengen makan macem-macem (dari pentol bakso sampai waffle).
Rasanya seperti ada bola dinyalain tiba-tiba di kepalaku. Omigod...ternyata karena aku hamil. Ck ck ck.


Walaupun sempet agak kesal waktu dokternya nanya dengan nada curiga, “mba sudah pernah berhubungan?” dan kujawab “ya iyalah, Dok, saya ini sudah nikah, tahu! Dokter pikir saya perempuan macam apa?!” (oke, itu yang kubilang dalam hati.
Aslinya aku cuma bilang, “Pernah. Saya sudah menikah.” dengan kalem), aku bersyukur juga. Dan lega. Kupikir, kalau memang sakitku ini karena aku hamil, aku rela sakit kayak gimana pun lagi, asalkan bayi di dalam kandunganku baik-baik aja sampai waktunya dia lahir nanti.


Tapi sudah kubilang, ceritaku ga seserhana itu.


Setelah dengan santainya bilang aku hamil, dokter bilang lagi, ”Tapi saya belum tahu pasti bagaimana kondisi kandungan mba, jadi nanti mba saya alihkan ke orang-orang dari bagian kebidanan.”


Excuse me?? Setelah 3 jam menelantarkan saya, Anda bilang belum tahu pasti kondisi saya??? Sekali lagi, itu cuma kuucapkan di dalam hati. Aku cuma ngangguk karena tenagaku sudah nyaris habis.


Kira-kira setengah jam kemudian (nice, berarti totalnya aku ditelantarkan 3,5 jam), datang seorang bidan dan dua orang asistennya. Dan itulah awal mula dari fase ”penyiksaan”-ku di Rumah Sakit.


Bidan itu menduga, ada ”sesuatu” di kehamilanku, jadi dia mau periksa. I’ll tell you, guys, pemeriksaannya sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttt banget. Kayaknya sih istilah pemeriksaannya FT atau apa gitu, tapi yang jelas uterusku diobok-obok, dan perutku yang nyeri ditekan-tekan. Bayangin aja, gimana aku ga jerit-jerit. Terus setelah aku diobok-obok lagi untuk kedua kalinya sama asistennya, bidan itu bilang ke dua asistennya, ”kayaknya sih KET, ya kan?”


Wuih, tega nian. Habis disiksa gitu, aku ga dikasih tau apa yang salah sama aku. Okelah, kupikir mungkin mereka belum yakin. Berikutnya, udah lewat tengah malam, aku dibawa ke Kamar Bersalin buat di-USG. Di kamar itu ada ruang-ruang bersekat tirai di kanan kiri, dan satu area sirkulasi di tengah-tengahnya. Kupikir aku bakal di-USG di salah satu ruangan biar tertutup, ternyata TIDAK. Aku diberhentiin di tengah-tengah ruangan, dan prosedur FT yang tadi diulangi lagi sama bidan yang lain, kali ini sambil di-USG.


OMG.....selama aku disiksa, aku dengar banyak hal yang bikin aku makin stress di sana. Ada ibu yang susah banget ngelahirin anaknya, sampai harus disemangati sama buanyak bidan. ”Ayo, ibu, ngejen yang panjang, jangan pendek-pendek kayak gitu!” ”Kalau bukan ibu, siapa yang mau ngelahirin anaknya??? Saya?? Ibu mau tukar, saya yang hamil, gitu???”


Akhirnya anak itu lahir juga, dan bidan yang bawa anak itu lewat tepat di sebelahku. Mau ga mau aku lihat anak bayi mungil yang masih berdarah-darah. Dan anak itu ga nangis waktu lahir, bahkan setelah bermenit-menit. Berarti ada yang ga beres. Dari ruang lain, aku dengar ada dokter yang bilang ke pasien di sampingnya, ”Ibu, sudah siap kan kalau ternyata anaknya sudah meninggal?”


Ya Allah, kuatkan aku!!!


Setelah aku di-FT untuk keempat kalinya (catat, EMPAT kali) sama bidan lain yang lebih sadis ngobok-ngoboknya, dan semuanya bilang, ”Iya, kayaknya KET”, aku sampai ke fase kedua dari paket penyiksaan itu.


Warning: mulai dari sini mungkin bisa bikin kamu merinding, karena aku detail. Buat yang masih single, kusaranin tutup blog ini, and find something fun on the net:-)


Tanpa peringatan apa pun, uterusku dimasukin selang.
I screamed. Tapi itu baru permulaan. Lewat selang itu, mereka masukin cairan bening entah apa ke dalam uterusku, dan dalam jumlah banyak. Kalau aku disuruh bikin daftar rasa sakit yang pernah kualami seumur hidup, yang ini ada di peringkat dua. And I sreamed my lungs out. Aku sampai mencengkeram tangan bidan yang ngelakuin itu. Seandainya bisa, rasanya pengen kutendang deh mereka. “#@*%$!!!! Sakit banget, tahu!!!!!!!” (itu si aku di “dalam” sana yang teriak). Setelah aku megap-megap, si bidan baru ngomong, “Iya, mba, saya tahu rasanya agak ga enak (excuse me????? “agak ga enak”????), tapi ini biar kelihatan jelas waktu di-USG”. Telat deh, ngomongnya. Dari tadi, kek.


Nah, habis semua cairan itu masuk, rasanya makin perih aja, dan aku ngerasa seperti mau pipis.
Tapi bidan bilang ga boleh. Terus, aku kembali ditelantarkan kira-kira 15 menit. $#@%*!!! Setelah itu, baru aku di-USG lagi. Aku bisa lihat layarnya juga, tapi emang dasarnya Kedokteran bukan bidangku, ya aku ga bisa bedain yang mana rahim yang mana anakku. Tapi aku lihat ada gumpalan kecil di dalam sana. Seandainya bisa—dan ini ga mungkin—rasanya aku pengen nyuruh anakku itu melambaikan tangan dan bilang, “Ibu, ibu, aku di sini!!!” biar aku tahu itu dia.


Dan bidan-bidan terus aja bilang aku kena KET, dan aku ga tahu maksudnya. Setelah itu, aku dipindahkan lagi ke ruang lain, yaitu ruang khusus untuk masalah kebidanan. Tepat di luar ruangan itu, ada belasan pasien-pasien yang berdarah-darah yang lagi diobati, dan aku dibawa lewat ruang itu. Nice.


Di ruangan yang kayak ruangannya psikopat nyiksa mangsa-mangsanya, aku dipasangin infus. Well, no problemo. Aku ga takut suntik, dan dipasangin jarum infus cuma sedikit lebih sakit dari disuntik. Yang jadi masalah adalah, waktu aku dipasangi kateter. Itu selang yang ditanamkan langsung ke saluran kencingku biar aku ga perlu turun dari tempat tidur kalau mau buang air. Wuih, sakitnya naudzubillah. Lama banget lagi masangnya, dan si asisten bidan (yang kayaknya masih cukup baru) pake salah masukin segala jadinya sempet diulang lagi. Di situ aku jerit lagi, dan ternyata masku (I mean, my hubby) ada di balik tirai dan dia julurin tangannya biar bisa megang tanganku. Aku ingat waktu itu aku mencengkeram tangannya keras banget. Itu rasa sakit ranking 3.


Setelah itu, aku dibiarin semalaman di sana.
Katanya, besok pagi baru aku dipindahin ke kamar. Di luar tirai, aku sempat dengar bidan itu ngomong dan jelasin soal penyakitku ke masku, tapi ga begitu jelas.


Aku cape, cape banget. Rasanya malam itu terasa kelewat panjang buat badanku yang sudah nyaris ga bertenaga. Akhirnya aku ketiduran.


Besok paginya, setelah birokrasi yang luamaaa buat mindahin aku ke kamar, akhirnya aku dipindahin juga dari ruang psikopat itu.


Dan aku tanya masku apa yang bidan bilang.

Aku hamil di luar kandungan.

Astagfirullah..........


Aku memang hamil.
Ada janin di rahimku, tapi dia ada di tempat yang ga seharusnya. Mestinya dia ada tepat di tengah-tengah rahimku. Tapi anakku itu ada di tuba falopi, menyumbat saluran indung telur sebelah kananku.


Artinya, dia ga mungkin bisa dipertahankan. Aku harus ngerelain dia di”jinakkan” dengan obat, atau sekalian diangkat dari sana. Cuma itu aja yang bisa dilakukan. Kalau kupertahankan, tuba falopiku yang bakal pecah, dan aku bakal pendarahan di dalam rahim, bahkan bisa sampai keracunan kalau sampai menyebar ke mana-mana. Kemungkinan paling buruk kalau itu sampai kejadian, seluruh rahimku harus diangkat.


Aku berulang kali nyebut istigfar waktu itu.


Itu anak pertamaku. Anak pertamaku. Tapi aku ga bisa memiliki dia.


Waktu itu hari Sabtu, dan dokter bilang kondisiku masih cukup baik jadi belum waktunya dioperasi. Aku bakal dikontrol lewat tes darah 6 jam sekali (yeah, darahku diambil 6 jam sekali. Untung aku ga takut disuntik).


Kondisiku cukup baik hari itu, menurut versi dokter. Dan katanya mungkin baru hari Senin aku dioperasi. Oh, bagus. Bagus banget. Aku harus bertahan sampai Senin sementara aku tahu pada akhirnya anakku ga akan selamat, walaupun itu demi keselamatanku.


Dokter memang bilang aku baik-baik aja. Tekanan darahku normal, lingkar perutku ga bertambah, HB-ku masih 11. Tapi yang kurasain jauh dari baik-baik aja. Sepanjang hari, setiap detiknya, aku berusaha keras nahan sakit yang masih juga ga mau pergi dari perutku. Teman-temanku datang untuk menjenguk, itu cukup membantu (guys, I love you all), tapi senyumku benar-benar maksa.


Semakin sore, aku semakin kesakitan.
Tapi aku coba bertahan.


Maghrib, aku sudah mencapai batas ketahananku. Aku sudah ga sanguup lagi nahan rasa sakitnya. Benar-benar ga sanggup. Aku ngerasa ga tahu harus gimana untuk bisa tahan bahkan untuk 1 detik lagi.


Perutku terasa menggelembung, dan nyeri luar biasa.
Aku ga bisa jelasin gimana sakitnya lewat kata-kata. Yang jelas itu rasa sakit ranking 1. Aku bahkan sempat mikir apa aku bakal mati sebentar lagi.


Jam 7 malam. Dokter datang ramai-ramai ke kamarku, dan aku di-USG lagi, kali ini untungnya tanpa FT. Dan dokter bilang, aku pendarahan. Lingkar perutku yang nambah itu buktinya. Keputusan diambil. Aku naik ke meja operasi saat itu juga. Lupakan hari Senin.


Salah satu pelajaran yang kuambil dari pengalaman pertamaku diopname di RS hari itu: ”sebentar lagi” yang diucapkan dokter, perawat, dan bidan, berarti ”minimal 1 jam lagi”. Dan begitulah, walaupun keputusan operasiku jam 7, aku baru dibawa ke ruang operasi jam setengah 10. Ga usah tanya gimana aku bisa tahan 2 setengah jam dalam keadaan sakit ranking 1. I feel like I’m dying. Literally. Di depan mataku ada jam dinding, dan aku menghitung tiap detik yang lewat terasa seperti satu jam. Dan 5 menit terasa seperti 5 minggu. Kedengaran hiperbola. Tapi memang itu yang kurasakan.


Di ruang operasi, aku dibius total, beda sama operasi caesar yang biasanya bius lokal. Aku bener-bener ga tahu kapan aku tidur, dan berapa lama aku tidur. Aku cuma sempat berdoa untuk terakhir kali sebelum dokter bilang aku mau dibius.


Aku berdoa semoga aku baik-baik aja.


Aku berdoa semoga kalau aku nantinya ga baik-baik aja, orang-orang yang kutinggalkan bisa melalui itu.


Entah berapa lama waktu berlalu, aku bangun. Aku ga ingat apa-apa soal operasi, dan kesadaranku belum sepenuhnya balik. Pandanganku kabur, dan kepalaku bergerak-gerak tanpa bisa kukendalikan.
Aku dibawa ke ruang lain, Recovery Room, dan aku dengar suara ayahku.


Selama lebih dari 24 jam, aku tetap di Recovery Room, ruangan yang seperti akuarium. Dindingnya kaca semua. Semua orang bisa ngelihat aku dan pasien-pasien lainnya, yang dalam keadaan mengenaskan: pake baju pasca operasi warna hijau dan terkapar dengan selang infus dan kateter menempel di tubuh, menunggu kentut. Hey, I mean it. Pasien-pasien pasca operasi di Recovery Room baru dianggap “pulih” dan boleh kembali ke ruangannya kalau sudah kentut. Dan selama belum kentut, aku ga boleh makan dan minum apa pun. Yummy.


By the way, pasien-pasien di ruangan itu rata-rata umurnya 30 tahunan, dan habis operasi caesar. Aku pasien termuda di sana. Jauh lebih muda. Dan itu dipertanyakan. Bidan-bidan di ruangan itu jadi hobi tanya-tanya soal aku. Aku sekolah di mana, masku kerja apa, orangtuaku kerja apa, dsb, dsb. Salah satu sahabatku kemaren berkomentar, ”Kamu memang makhluk langka. Semua penyakit aneh-aneh dan parah kamu embat. Kamu nikah muda. Dan di usia muda itu kamu ngembat penyakit baru yang ga semua WANITA dapat. Extreme, dude, extreme.”


Finally oh finally, ususku mulai bekerja normal, dan berakhirlah penantian panjangku di dalam akuarium itu. RRGGHHH...rasanya gemes dan ga sabar banget pengen keluar. Di dalam akuarium kerjaanku cuma tiduran, bolak balik menghadap kanan kiri, sementara keluarga dan sahabat-sahabatku berdiri di luar sana, melambai-lambai sambil tersenyum ke aku. Ya ampun, ya ampun, aku pengen keluar!!!


Sampai di kamarku lagi (aku dibawa naik kursi roda), aku disambut teramat sangat hangat sama semua orang. Oh, I miss them so damn bad.


Selama dua hari berikutnya, aku harus bed rest total, makan banyak, dan melatih mobilitas badanku lagi. Aku latihan duduk, berdiri, dan jalan. Makananku bertahap dari bubur sampai akhirnya aku boleh makan nasi. Ibuku bilang, kondisiku sekarang sama seperti orang yang habis melahirkan. Sama persis. Dan aku belajar banyak hal dari itu.


So that is.


Itu salah satu pengalaman terburuk sekaligus paling berharga yang pernah kualami. Buruk karena aku ngerasain sakit yang ga pernah kurasain seumur hidup (aku bahkan ga tahu ada rasa sakit yang separah itu). Buruk karena aku kehilangan bayi yang mestinya jadi anak pertamaku. Buruk karena aku harus terkurung berhari-hari di Rumah Sakit sementara agendaku minggu itu penuh deadline.


Tapi berharga karena aku jadi lebih bisa mensyukuri hari-hari waktu aku sehat. Berharga karena aku jadi lebih bisa merasakan betapa pemurahnya Allah. Berharga karena aku jadi benar-benar tahu bahwa keluarga dan teman-temanku menyayangiku.


Berharga karena aku jadi sadar aku sudah diberi kesempatan lagi. Dan aku harus bisa menjalaninya dengan lebih baik.


Guys, kesehatan itu mahal. Mahal materi, mahal tenaga, mahal waktu, dan terutama mahal emosi.


Jangan pernah merasa hidup kalian ga berguna. Kita diberi hidup dan kesehatan buat terus menjalaninya, bukan untuk disia-siakan. Kita semua punya tugas masing-masing yang dibebankan di pundak kita. Ga perlulah kita mengeluh masalah kita lebih berat dari orang lain. Wasting time banget. Yang penting adalah gimana kita bisa menjalankan tugas-tugas kita itu dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab.


Perlu kita ingat. Sementara sekarang kita sehat, bisa menghirup udara dengan bebas, berjalan ke mana pun kita mau, bergerak sesuka hati, bicara dengan lancar, dan tertawa dengan lepas, di waktu yang sama, di luar sana, ada orang-orang yang harus berusaha keras bahkan dibantu alat untuk mempertahankan napas terus masuk ke paru-paru mereka, harus kehilangan kaki atau duduk dikursi roda, terkurung di tempat tidur tanpa bisa ke mana-mana, ga bisa mengatakan apa pun yang pengen dikatakan, bahkan ga bisa lagi tertawa, karena sakit.


Bersyukurlah karena kita sehat.


Bersyukurlah karena kita hidup.


Dan bersyukurlah dengan menjalaninya dengan sebaik-baiknya.


Sehat itu mahal......part 2


Hoho, saudara-saudara sekalian. Aku minta maaf untuk postingan terakhirku. Ada sedikit kesalahan teknis, dan akan aku perbaiki sekarang. Dan by the way, ”Sehat itu mahal” sebelumnya kutulis 3 minggu-an yang lalu, tapi baru di-posting kemaren. Just so you know:-)


Sebelumnya aku tulis kalau aku sakit ginjal, gara-gara aku kurang minum dan sebagainya dan sebagainya. Tapi ternyata itu salah.


Setelah aku ”divonis” sakit ginjal, aku teramat sangat rajin minum air putih. Aku sengaja beli botol air minum di toko, dan selalu kuisi penuh sebelum kubawa ke kampus. Gosh, kayak anak kecil, kata teman-temanku. Whatever, yang penting aku bebas dari nyeri yang brutal itu. And yeah, I made an improvement. Dari aku yang biasanya cuma minum 3 gelas sehari habis makan, sekarang aku bisa habisin air sebanyak dua kali botolku, berarti kira-kira 1,6 liter. Oh, great!!! Aku sudah PD banget nyeri yang kemarin ga akan berani ganggu-ganggu aku lagi.
Go straight to hell, you pain, ga perlu mampir-mampir dulu.


Ooops, tunggu dulu. The story just started here. Kira-kira dua minggu yang lalu, waktu aku lagi nunggu dosen yang katanya bakal telat satu jam tapi minta ditunggu (oh, power is sweet
J), aku ngerasa ada yang aneh sama perutku. Rasanya seperti nyeri bulanan (you know what I mean), dan memang si bulan sudah telat datang kira-kira 10 hari, jadi kupikir “ah, ini doank. I can handle this.” Ya udah, aku terusin nunggu dosenku tercinta itu di kelas sambil cekakak-cekikik ga jelas sama teman-temanku (biasalah, sindrom mendekati deadline). Nah, ternyata, sakitnya makin lama makin mengganas. Biasanya kalau aku mau datang bulan memang agak nyeri, tapi ga pernah sampe bikin aku bungkuk-bungkuk kayak the Hunchback niruin udang gini. Sakitnya buset binti buju buneng, rasanya seperti ada yang nge-squeeze perutku dari dalam, plus kadang-kadang nonjok juga. Serasa jadi sandsack.


Dasar memang aku sok kuat, kuterusin aja nungguin dosenku itu walaupun teman-temanku bilang mukaku sudah mulai biru nyaris ungu (percaya ato ga, itu juga kesan pertama teman-temanku ke aku, alias penyakitan *sigh*). Sebenarnya bisa aja aku pulang, tapi masalahnya, aku sudah bolos mata kuliah ini 3 kali gara-gara penyakit malas akut yang kuderita, jadi rasanya aku jahat banget kalau sampe bolos lagi. Lagipula kasihan kan temanku yang TA-in aku melulu. Ya sudahlah, toh akhirnya, setelah 1 jam yang menyiksa, dosenku datang juga.
“Kalau aku bisa tahan 1 jam, mestinya aku bisa tahan paling ga satu setengah jam lagi. Ganbatte!!!


Itu kesalahan superbesar. Setelah kuliah berakhir (dan aku sama sekali ga nangkap apa pun yang diomongin sama dosenku itu. Please accept my apology, Sir...) sakitku bener-bener udah sampai stadium yang susah buat kutahan. Biasanya aku hobi nyembunyiin sakit dan berusaha ga bilang, ”aw, sakit...” karena menurutku kalau aku bilang gitu rasanya aku jadi bener-bener membenarkan rasa sakit itu jadinya terasa tambah sakit aja. Tapi kali ini beda. Sakitnya udah nyaris bikin aku jungkir balik frustasi, dan keluar juga kata itu dari mulutku.


”Sakit...”


Aku segera mengungsi ke kos temanku karena masku masih kerja. Di sana, ya aku ngakunya sakit bulanan, karena aku memang mikir gitu. Sahabat-sahabatku yang cantik-cantik dan baik hati itu segera ngasih aku pertolongan pertama. Aku dibaringin, diselimutin, dan dikasih minyak kayu putih. Biasanya sih memang ampuh, apalagi kalau aku tidurnya melungker. Tapi ternyata masih ga mempan juga. Mendekati Maghrib, sakitnya makin menjadi. Dari daerah perut sampai ujung kakiku ga bisa digerakin. Aku lumpuh. Bergerak dikit aja sakitnya bikin aku pengen nonjok orang. Akhirnya aku minum obat pain killer super ampuh yang biasanya kuminum. Tapi ternyata ga mempan, malah tambah sakit aja.


Oke, aku nyerah. Akhirnya aku hubungi masku, dan aku minta diantar ke dokter. FYI, aku teramat sangat ga suka ke dokter atau ke Rumah Sakit. Tapi karena akhir-akhir ini perutku sering banget sakit ga jelas dan sekarang aku malah jadi lumpuh, ya mau gimana lagi. Sekitar jam 8 malem, masku jemput, aku dituntun kayak orang tua sama teman-temanku. Bahkan aku dibantu temenku masang baju karena ga kuat bergerak. Aku menyedihkan banget deh.


Terus aku ke dokter praktek umum. Aku sendiri berspekulasi mungkin aku sakit infeksi usus, usus buntu, atau ginjal dan hatiku yang ga beres. Ternyata setelah diwawancara dan diperiksa sama dokter itu, beliau berkesimpulan ”Ini lambungnya mba yang sakit.”


Eit, tunggu. Ceritaku belum selesai.


Waktu dokter bilang aku sakit lambung dan ngasih aku resep obat yang—astaga—udah aku punya sejak lama di rumah karena memang aku punya sakit infeksi lambung, aku sampai terdiam. Bukan karena aku berpikir ”Astoge, ternyata cuma lambungku?” tapi justru ”Astoge, MASA’ cuma lambungku?”


Aku ga ngeremehin dokter itu. Bagaimanapun juga beliau ilmunya pasti lebih tinggi dari aku yang gudang penyakit ini. Tapi ga tahu kenapa aku yakin banget sakitku ini ga se”sederhana” itu. Buktinya, sampai di rumah aku malah jerit-jerit—bukan lagi cuma ngeluh—kesakitan. Aku ga main-main, kali ini rasa sakitnya udah nyaris meruntuhkan pertahanan terakhirku.


Akhirnya aku ke UGD. Dan percaya atau ga, aku ”ditelantarkan” 3 jam di sana. Cuma sesekali dokter atau perawat nanyain ”sakit apa, mba?” atau ”mana yang sakit?”, trus ngambil sampel darah dan urinku. UUUGGHHHH....rasanya aku pengen misuh-misuh nungguin lama ga jelas gitu. Apalagi ada jam dinding tepat di depanku, jadi semakin terasa deh tiap detik dari perjuanganku menahan sakit. Di kanan kiriku, di ruang rawat jalan, banyak pasien jerit-jerit karena sakitnya masing-masing, bahkan ada yang lagi dijahit muka dan badannya karena habis kecelakaan. OMG, makin stress aku jadinya.


Setelah tiga jam yang penuh penyiksaan fisik dan batin, akhirnya ada dokter yang dengan lempengnya bilang, ”Mba, hasil tes urinnya sudah keluar.”


Oke, now tell me what happened!!!!


“Mba positif hamil.”

…..

…..

…..

WHAT????!!!!


Dan begitulah saudara. Ternyata aku hamil. Rasa sakit yang brutal kayak orang barbar itu ternyata karena aku hamil. Karena ada calon bayi di rahimku.


Sekali lagi, se”sederhana” itukah?


Akan kulanjutkan di part 3.


Oh, by the way, have I told you I’m married?


Yep, I already became a Mrs. For more than a year
:-)

Thursday 16 April 2009

Sehat itu mahal--dan ini bukan sekedar kata-kata klise


“Whether it’s the best or the worst time, it’s the only time you got” –Art Buchwald

Baru-baru ini aku sakit. Well, rasanya sejak beratku turun 3 kilo aku memang jadi gampang sakit. Sekitar 3 minggu yang lalu aku kena penyakit yang berhubungan sama pencernaanku, yang bikin aku harus bolak-balik ke kamar mandi setiap 5 atau 10 menit sekali, dan dengan wajah yang pastinya jelek banget karena meringis sampe sulit buat bedain yang mana dahi, pipi, dan daguku saking merengutnya (a little hiperbolic, but I mean it^^). Sampe-sampe aku berpikir mendingan sakit lambungku yang kumat daripada sakit yang ini yang kumat. Setelah melewati 3 jam yang serasa 3 tahun yang penuh derita, akhirnya aku bisa tidur dan waktu bangun badan udah terasa mendingan. Horraaayyy!!! Kupikir deritaku berhenti sampe di situ, and I already said goodbye to that damn sickness dan kembali berkutat ria sama tugas-tugas kuliah yang bejibun seperti biasanya.

Ternyata aku terlalu cepat senang. Tepat seminggu yang lalu, waktu aku lagi kuliah studio 6 SKS yang sangat ‘mengasyikkan’ (dalam banyak arti), aku mulai ngerasa kayaknya maag akut alias sakit lambungku mau kumat karena aku lupa (sebenarnya sengaja dilupakan karena nyaris telat^^) sarapan. Karena udah pengalaman 3 tahun, aku langsung beli makan dan ga lupa minum obat maag dulu sebelum makan. Wah, aku udah PD banget sakitku ga bakal kumat. Yah, kalaupun kumat paling aku cukup membungkuk-bungkuk megangin perut selama beberapa menit lah, habis itu langsung fit dan lanjut ngerjain tugas.


Be careful what you wish for. Aku kena karma beneran deh. Sakit lambungku kumat!!! Jadilah aku meringkuk-ringkuk tak berdaya kayak trenggiling yang ngerasa kena bahaya. 5 menit...masih oke...masih bisa ketawa-ketawa sama teman-teman..... 15 menit...lumayan oke, masih bisa becanda ngaomentari temanku yang rada lugu (luemot dan guoblok)......30 menit...mati aku, bahkan ngikik aja bikin sakit di daerah perutku tambah parah. Gawat, gawat, ada yang ga beres. Ini ga kayak sakit lambungku yang biasa. Sakitnya lebih mengiris-ngiris, menohok-nohok, seolah-olah ada palu kasat mata yang mukul-mukul perutku dari luar dan dalam. Dan yang sakit perut bagian kanan bawah. Usus buntu? I dunno.


Akhirnya aku menyerah! Aku ngacir pulang, kembali k
e pelukan guling-guling di kasurku yang empuk! Berbaring selalu jadi obat ampuh untuk hampir semua penyakitku, jadi kupikir ga perlulah lama-lama aku menderita. Ternyata oh ternyata, sakitku bukannya reda tapi tambah parah!!! No way!!! God, what’s wrong with me?? Kalau gini caranya aku ga akan bilang mendingan sakit lambung daripada sakit pencernaan.


Setelah dikonfirmasi ke sumber yang dapat dipercaya, muncullah sebuah kesimpulan: GINJAL-ku bermasalah.


Ya ampun, kok rasanya semua organ tubuhku ngantri buat kena sakit satu-satu. Dan lagi, apa tadi? G-i-n-j-a-l??? Ga keren banget (hush, mana ada sakit yang keren! Kecuali sakit mendadak kaya^^). Yang lebih ngeselin lagi, ginjalku tercinta itu sakit gara-gara aku kurang minum air. Yep, aku paling ga kuat minum air. Kalau dihitung-hitung mungkin aku cuma minum sekitar 3 gelas sehari, setelah makan. Padahal aku sering minum obat yang dosisnya tinggi-tinggi. Jadilah ginjalku ngambek karena bebannya jadi berat banget.


Dulu aku sering ngeremehin makan dan minum. Kalau diingetin, “ntar sakit lho...”, biasanya aku jawab, “kemarin aku telat makan ga pa-pa tuh, aku kan kuat, hehehe...” Setelah beberapa kali kumat, akhirnya aku dibilangin gini, “tuh kan. Belum tentu kamu ga kumat sekali artinya kamu baik-baik aja. Itu ibaratnya sakitnya ngutang, jadi numpuk-numpuk dulu di dalam tubuhmu, terus ntar tiba-tiba kumat parah.”


Sekarang kata-kata itu aku ingat terus (thanks to Joe Yabuki!), dan selalu kupake setiap kali ada temenku yang suka pake alasan yang sama kalau kuingetin makan.


Aku juga sempet berpikir, ”why me?”. Padahal ada banyak temanku yang juga ga hobi minum (sekalinya minum malah minum soda atau mabok sekalian), tapi mereka ga pernah kenapa-kenapa tuh. Heran kan? Yah, God works in a mysterious way. Mungkin juga penyakit mereka juga ngutang, sekarang bisa aja mereka baik-baik aja, tapi siapa yang tahu gimana keadaan mereka 5 atau 10 tahun ke depan? Kita semua tahu soda itu ngerusak tulang dan daging, sementara miras? Siap-siap aja lambung jebol.


Sehat itu mahal, teman-teman. Bisa aja cuma karena hal kecil yang kita anggap remeh banget, suatu saat kita harus ngeluarin duit banyak buat nyembuhinnya. Ga mau banget jadi kanker (alias kantong kering) cuma gara-gara kurang minum atau sok selalu kenyang kayak aku kan?


So, mari sama-sama menjaga kesehatan. 4 sehat 5 sempurna, makan dan tidur teratur, olahraga teratur, dan jangan lupa yang paling penting: ibadah dan berdoa yang teratur. Karena sebenarnya kesehatan itu ga lain adalah pemberian-Nya.


Kita aja yang bandel suka nolak kado yang dikasih ”gratis” itu.


Wednesday 25 February 2009

being different is not easy



Di dunia ini banyak manusia aneh.

Itu yang kakakku dulu pernah bilang. Dia bilang gitu karena aku takjub waktu ngeliat video-video aneh yang ada di laptopnya. Beneran deh, banyak manusia aneh di dunia ini. Ada orang yang bisa menghipnotis lalat (lalatnya jadi mau disuruh muter-muter bola pake kaki mereka dengan posisi badan terbalik, kayak sirkus aja), ada orang yang punya tangan super cepat (saking cepatnya gerakan tangannya sampai ga keliatan waktu dia nyusun gelas-gelas jadi tumpukan-tumpukan yang rapi), dan lain-lain. Dia juga bilang gitu waktu aku dengar cerita pengalamannya waktu di Amerika, dia bilang ada salah satu temannya yang keturunan Indian asli, yang bisa baca pikiran orang. Awalnya dia ga percaya, tapi setelah kakakku coba langsung, ternyata cowo Indian itu beneran tahu apa yang ada di pikirannya waktu itu!

Aku sendiri ngerasa cukup banyak mengenal orang-orang yang aneh. Malah ada yang bilang aku ini magnet orang-orang aneh, karena dia pikir aku sering dikelilingi orang-orang yang aneh.

Well, sebenarnya orang-orang di sekitarku ga terlalu aneh. Ga satupun dari mereka bisa menghipnotis binatang, dan ga juga bisa baca pikiran. Aku ga punya teman-teman dengan kemampuan aneh bin ajaib seperti itu. Terus, kenapa teman-temanku disebut aneh?

Kepribadian mereka yang “agak berbeda” dari orang-orang kebanyakan.

Aku kenal orang-orang yang ngerasa berada di tubuh yang salah, masochist, schizo, sampai yang punya orientasi seksual yang ga seperti orang lain (dan anehnya aku kenal banyak orang jenis ini).

Temanku yang masochist, dia “hobi” ngiris pergelangan tangannya sendiri, terutama kalau dia lagi kalut. Dia baru bisa merasa kalau dia benar-benar hidup waktu darah keluar dari kulitnya. Tanpa ngelakuin itu tiap hari, dia merasa mati, kosong, dan ga ada di dunia. Dia juga ngelakuin itu waktu dia lagi punya masalah berat atau sakit hati. Karena dia bilang, rasa sakit yang dia rasakan di tangannya jauh lebih “menyenangkan” daripada sakit hati yang dia rasakan. Mungkin sebenarnya dia bukan masochist, tapi penderita Borderline Personality Syndrom, tapi aku ga yakin itu (aku ga ahli psikologi). Dia sendiri ngerasa dirinya normal.

“I’m not sick, I’m just a little different. Maybe.”

Walaupun aku memohon-mohon biar dia ga nyakitin dirinya sendiri lagi, dia ga bisa berhenti. Ada dorongan kuat dari dalam dirinya yang ga bisa mencegah itu.

Sahabatku yang schizo, dia salah satu sahabat yang paling kusayang sedunia. Dari luar, ga akan ada yang tahu kalau dia “sakit”. Dia kelihatan seperti orang-orang lain. Dia bicara, makan, dan bekerja seperti orang-orang lain.

Satu hal yang kecil yang berbeda dari dia yang mungkin disadari orang-orang di sekitarnya, dia workaholic. Dia bisa kerja seminggu penuh dengan total jam tidur cuma 5 jam atau bahkan ga tidur sama sekali. Dia kerja seperti robot. Orang-orang mungkin berpikir kalau dia memang pekerja keras, apalagi bidang kerjanya di Arsitektur bikin dia harus disiplin sama waktu.

Tapi ada sesuatu di balik itu yang ga dia bilang ke orang-orang. Setiap hari dia harus berhadapan sama “orang-orang”, “hal-hal”, dan “suara-suara” yang ga disadari orang lain, tapi selalu ada di sekitarnya, 24 jam penuh. Dia perlu mengalihkan pikirannya sendiri dari semua itu, makanya dia bener-bener berusaha menyibukkan diri. Dan kenapa dia amat sangat jarang tidur? Pertama, dari kecil memang dia punya kecenderungan insomnia (the same thing that I have). Yang kedua, dia takut tidur. Kalau dia tidur, dia bakal ketemu sama “dirinya” yang lain. Dan dia ga pernah bisa “menang” dari dirinya yang lain itu. Dia takut ga bisa bangun lagi begitu dia tidur.

Makanya, sering banget dia kerja gila-gilaan tanpa tidur seminggu penuh, sampai akhirnya beberapa bulan yang lalu dia collapse dan masuk rumah sakit. Sekarang dia diwajibin minum obat tidur setiap 3 hari sekali sama dokternya, ga peduli sesibuk apa pun dia waktu itu.

Yang terakhir, teman-temanku yang punya orientasi seksual yang berbeda, baik gay maupun lesbian.

Orang-orang lain mungkin nganggap mereka menjijikan, tapi buatku mereka sama seperti manusia lain, cuma ”sedikit berbeda”. Dan sedikit complicated.

Dulu aku cuma tahu tentang itu dari film-film, dan aku ga pernah terlalu mikirin soal hal itu. Tapi setelah aku kenal langsung sama orang-orang seperti itu, bahkan jadi sahabat mereka, aku jadi sadar, menjadi berbeda itu ga mudah. Sama sekali ga mudah.

Mereka ga pernah bisa bener-bener jadi diri mereka. Mereka terus nyembunyiin hal itu, bahkan dari sahabat terdekat mereka. Waktu akhirnya mereka jujur, aku tanya ”Kenapa ga bilang dari dulu?”

”Karena aku ga mau kamu menjauhi aku.”

Alasan yang simple, tapi aku bener-bener tertohok waktu dengar jawaban itu.

Padahal mestinya mereka tahu, se”berbeda” apa pun mereka dari orang lain, aku ga akan jauhi mereka.

Tapi begitulah, semua orang yang ”berbeda” pasti punya ketakutan seperti itu. Ga semua orang berpikiran terbuka. Dan ga semua orang bisa menerima perbedaan.

Dan akhir-akhir ini, aku sedikit (sebenarnya sangat) muak sama orang-orang yang ga bisa menerima perbedaan kayak gitu. Begitu tahu ada orang yang sedikit berbeda, mereka langsung menjauh, melabeli mereka seenaknya seolah-olah mereka itu bukan manusia, seolah-olah mereka itu noda yang ga boleh ada, yang mestinya disingkirkan.

Apa sih definisi normal?

Orang-orang cenderung menganggap apa yang disebut normal itu adalah apa yang dianut mayoritas.

Lalu yang minoritas dianggap apa? Sampah?

Kakakku dari kecil sering bilang ke aku, ”Kalau kamu mau orang lain percaya sama kamu, kamu harus bisa percaya orang lain.”

Seandainya semua orang punya prinsip seperti itu, mestinya hidup kita damai-damai aja. Ga perlu lah kita menghina atau ngomong jelek soal mereka yang dengar hal-hal yang ga didengar orang lain, atau yang suka sama jenisnya sendiri. Mereka toh ga menyakiti siapa pun.

Dalam hati aku mikir, mungkin justru karena kita sendiri orang-orang yang berbeda itu jadi semakin ”parah”. Seandainya kita menerima mereka dengan tangan terbuka dan berempati, mereka ga perlu merasa buruk, kotor, dan ngerasain sakit dari kata-kata tajam dan tatapan-tatapan merendahkan yang dihadiahkan ke mereka.

Semua orang memang punya pendapatnya sendiri-sendiri. Dan hak setiap orang juga buat nentuin apa yang mau mereka lakukan.

Tapi, semua orang juga punya hak untuk menjadi diri mereka sendiri kan?

Semoga kita semua bisa jadi orang yang bijaksana dalam memandang hidup.

Friday 20 February 2009

dunia bernama dia

Aku benci dunia.

Saat kusampaikan itu, apa yang akan kau katakan? Mungkin ka
u akan berkata aku egois. Mungkin kau akan berkata aku munafik. Tapi itulah adanya. Aku tidak mengada-ada. Aku tidak mengarang-ngarang cerita.

Aku benci dunia.

Seandainya ada kata yang menggambarkan satu tingkat rasa di atas benci, aku akan menggunakannya.

Definisikan dunia untukku. Dan aku akan mendengar berbag
ai macam jawaban. Sebagian besar akan menjawab dunia adalah anugerah bagi manusia sebagai tempatnya lahir, tumbuh, dan mengejar cita-cita. Sebagian lagi dalam besar yang sama akan menjawab dunia adalah perjalanan, di mana di sepanjang jalan itu kita akan berpapasan dengan banyak orang; menyapa mereka, berbincang, dan saling membantu saat ada kerikil atau bahkan batu besar yang menghalangi langkah.

Dunia bagiku? Tidak ada. Tidak ada dunia bagiku. Hanya sekedar kata yang kugunakan untuk mewakili suatu ruang dan masa di mana aku dipaksa ada, meskipun hari-hari selalu berlari meninggalkanku, bahwa keberadaanku tidak pernah dan tidak akan pernah penting baginya. Dengan atau tanpaku, waktu akan terus berputar. Begitu juga dengan dunia.


Seperti itulah hubungan yang selama ini kujalin dengan dunia. Ia melahirkanku bukan karena ia ingin, tapi karena ia harus. Dan aku terus hidup bukan karena aku ingin, bahkan tidak juga harus. Aku hanya seonggok manusia yang tidak merasakan tanah meski kakiku berpijak di atasnya. Tidak merasakan udara meski dadaku bernapas. Tidak merasakan cahaya meski aku tidak buta. Tidak merasakan rasa meski tanganku menyentuh.

Lalu kenapa aku masih juga ada?

Karena aku terlalu pegecut untuk membebaskan diriku sendiri.

Dan karena aku pandai berpura-pura.

Aku akan ikut tertawa saat mereka bahagia. Aku akan ikut nelangsa saat mereka sedih. Aku akan bersimpati saat mereka butuh dukungan.

Aku teman yang sempurna. Dengan topeng yang sempurna. Aku telinga yang mendengarkan semua keluh kesah mereka. Aku bahu yang menjadi tempat mereka bersandar saat lelah. Aku lengan yang memeluk mereka saat merana dan tak kuasa menahan tangis.
Telah kuukir topengku dengan sempurna. Bahkan pemahat terbaik pun tak bisa menandingi lekuk senyum setulus yang kuciptakan, tidak juga mata sendu yang kulukis saat mereka mengutarakan betapa melelahkannya dunia. Dunia mereka.

Aku aktor yang sempurna. Dengan ekspresi tanpa cela. Dengan kata-kata indah tanpa terdengar dusta.

Dan kesempurnaan itulah yang membuatku membenci dunia.

Kenapa aku harus bersikap manis pada dunia jika dunia tidak bersikap manis padaku?

Orang-orang itu sudah terlalu lama menuntutku untuk memerankan kesempurnaan itu. Orang-orang itu sudah menempaku sedemikian keras seperti pandai besi menempa pedang terbaiknya. Yang tanpa cacat, tanpa retak.

Dan begitulah aku. Seperti pedang itu, aku terlalu hanyut dalam kesempurnaanku, hingga aku lupa seperti apa hidup yang sebenarnya. Seperti apa emosi yang sebenarnya. Meski aku bisa tersenyum, tertawa, dan bersedih, aku tidak bisa mengerti alasan untuk semua itu.

Seperti pedang itu, aku telah dibentuk lurus dalam garis yang sempurna, dan dibekukan dalam air yang dingin ketika panas masih menggerogoti kulitku, hingga aku menjadi sekaku dan sedingin besi. Kokoh bagi mereka yang memandangku. Tapi pernahkah mereka benar-benar memandangku?

Dan seperti pedang itu, aku memberi batas bagi mereka untuk tidak berada terlalu dekat denganku. Aku dapat melukai mereka kapan saja. Hanya jika aku ingin. Tapi selimut pedangku juga dirajut dengan sempurna.

Sudah kukatakan aku sempurna. Ragaku terlalu pandai membungkus ketiadaan jiwa di dalamnya. Tidak ada yang perlu dan akan tahu bahwa aku tidak memiliki diriku. Seperti aku tidak memiliki dunia.

”Hei!”

Tepukan ringan hinggap di bahuku, menyalakan alarm dalam tubuhku untuk kembali mengenakan topeng terbaikku.

”Terima kasih mau menemaniku!”

Aku tersenyum. Senyumku yang sempurna.

”Tentu saja. Itu gunanya teman.”

Ia tertawa senang, merangkul tubuhku dengan lengannya yang panjang dan ramping, membawaku duduk di bangku tepat di sampingnya.

Aku sudah pernah mengikuti kelas ini. Secara infromal. Bertahun-tahun yang lalu. Dan aku cukup yakin sekarang pun, setelah sekian lama, aku masih memiliki apa yang kupelajari dulu.

Tapi aku teman yang sempurna. Kutemani dia dengan resiko bosan yang tinggi. Apa bedanya? Dunia toh tidak pernah berbaik hati padaku dengan cara apa pun.

Mereka di ruangan itu segera menyukaiku, meski baru pertama kali bertemu. Seperti itulah mereka selalu memperlakukanku. Sebagai seseorang yang manis laku dan ucapnya.

Hari ini akan berakhir sama seperti hari-hari sebelumnya. Dalam sekejap yang tidak bisa kurasakan. Dan akan segera berganti dengan hari baru yang masih juga akan selalu sama.

Tapi aku salah. Ada cacat dalam hariku yang seharusnya kulalui dengan sempurna.

”Gantikan aku,”

Katanya dengan nada ketus yang jarang kudengar, menghujamku dengan serta merta, diiringi tatapan nyalang yang tak bisa kuelakkan.

”Aku tidak mau satu kelompok dengannya. Gantikan aku. Dengan siapa saja.”

Dan aku dapat membaca kata selanjutnya yang ingin diucapkannya, tertulis jelas di sepasang mata yang memandangku seperti noda yang seharusnya tak ada.

Selain dia.

Aku aktor yang sempurna. Aku bersikap manis pada semua orang, dan semua orang bersikap manis denganku, terperdaya topeng yang membungkus erat selongsong kulit wajahku. Tapi tidak dengannya.

Sekali itu sadarlah aku, aku telah dibenci. Oleh orang yang baru saja kutemui. Yang bahkan tak kuketahui namanya.

Aku bertanya-tanya apa yang salah pada topengku, hingga berhari-hari ke depan mata nanar itu masih juga terbakar merah oleh sesuatu yang tidak bisa kumengerti saat menatapku. Bencikah itu? Atau sesuatu di luar kemampuanku untuk menerjemahkan emosi?

Aku tak tahu.

Dan seharusnya aku tak peduli.

Tapi ia berbeda. Ia umpama pengecualian dalam duniaku yang semu. Ia seperti orang asing yang semestinya tak ada di sana. Sepertiku.

Dan itulah jawabnya.

Setelah berminggu-minggu aku termangu dengan ia yang menganggapku seolah ancaman bagi hidupnya yang selama ini tenang dan tertata, meski aku tak pernah bertukar sepatah kata pun dengannya. Ia akhirnya memberiku jawabnya. Jawab yang memberitahuku mengapa ia berbeda.

“Hentikan,”

Katanya sore itu, saat aku sampai di muka pintu, bergegas ingin pergi dan tak ingin jadi orang terakhir yang bersamanya saat itu. Lengannya terulur menghalangi jalanku. Aku mendongak, dan untuk pertama kalinya aku benar-benar memandang matanya. Coklat tua yang lebih dalam dari yang bisa kuperkirakan dan kutempuh. Memancarkan warna merah seperti biasanya, yang masih juga belum kumengerti.

“Lepaskan itu,”

“Apa?”

“Lepaskan topengmu.”

“Apa maksudmu?”

“Kubilang, lepaskan topengmu. Tanggalkan senyummu, buang semua kata-kata manismu.”

Aku hanya diam, memilih untuk berpura-pura, seperti biasa. Mata coklat itu melembut, warna merahnya memudar. Tapi kata-katanya mengiris-ngiris topeng sempurnaku, perlahan tapi pasti.

”Aku muak denganmu yang seperti itu.”

”Izinkan aku bertanya mengapa.”

Merah itu kembali menyala. Tapi kali ini aku tidak menghindarinya, sekalipun aku tidak memahaminya.

”Aku melihatnya di matamu,” bisiknya dengan tajam, meretakkan beberapa keping dari topengku, ”warna merah yang sama.”

Ternyata aku salah. Dia bukannya berbeda. Dia justru begitu serupa denganku, jauh lebih serupa dari yang bisa kuduga.

Tapi lelaki bermata coklat terbakar itu lebih kuat menghadapi dunia. Tak sejengkal pun dari wajahnya yang terlapisi topeng, tak ada selapis baju besi pun yang digunakannya, seperti yang kulakukan. Ia jujur pada dunia.

Ia tahu dirinya membenci dunia, dan ia ingin dunia tahu itu. Ia tidak bersusah payah memahat topeng, tapi membiarkan dunia melihat warna merah di matanya itu.

”Tidakkah kau lelah?” tanyanya.

Warna merah itu melembut, dari api menjadi senja.

”Kau membiarkan dirimu kalah dengan sikap manismu. Dunia menertawakanmu.”

Aku tahu itu. Tapi tahukah engkau? Telingaku sudah tuli akan tawanya.

”Biarkan aku jadi pengecut.”

Ia menyahutiku dengan diam. Tatapan kami bertemu. Dan untuk pertama kalinya, kulihat warna merah yang sama pada wajahku, di dalam matanya. Ternyata ia benar.

Tangannya mengendur, memberiku jalan untuk lari. Tapi kakiku sudah kelu.

”Tetaplah hidup.”

Dan kupandangi punggung itu menjauh.

Hariku tak lagi sama.

Ia membawa cacat dalam kesempurnaan yang kubangun dengan penuh peluh. Ia menyusup ke dalam duniaku melalui celah kecil yang tak kusadari. Ia bersembunyi dalam titik buta yang luput dari indraku.

Ia terus mengawasiku dengan mata merahnya. Tapi kini aku tak lagi takut. Warna merah yang seolah membakar kulit dan topengku itu bagai candu bagiku. Aku sanggup hidup tanpa menghirup udara, tapi aku merasa akan mati tanpa rasa panas itu.
”Aku membencimu.” katanya padaku, pada sore yang lain.

”Aku membencimu, seperti aku membenci semua orang. Dan aku jauh lebih membencimu setelah kutemukan warna itu di matamu.”

Kubiarkan diriku mati rasa. Kunikmati setiap bara yang kulihat di matanya. Dan sekalipun ia akan menghanguskanku menjadi abu, aku yakin aku tidak peduli.

”Tapi kau ada di sana.”

Bisikannya menyentuh telingaku yang tuli, menggelitik pendengaranku, membangunkan pikiranku yang tertidur.

“Kau penyusup dalam duniaku. Langkahmu tak terdengar olehku. Saat aku telah terbiasa dengan hitam, satu-satunya warna yang pernah kukenal, tiba-tiba kau hadir. Kau menjadi satu-satunya warna merah yang tertangkap mataku.”

Sekali lagi kulihat senja di sana.

”Aku ingin menghalaumu. Sudah kunyalakan api agar kau menjauh, lenyap menjadi warna hitam yang sama. Tapi kau selalu ada di sana. Aku ingin lari darimu, tapi tak selangkah pun aku sanggup berpaling.”

Jemarinya terulur ke wajahku, tapi dihentikannya sebelum sempat kurasakan sepanas apa kulitnya. Ia tak pernah menyentuhku.

”Aku tak ingin kau lenyap.”

Dan kututup hariku dengan kembali memandang punggungnya menjauh.

Biarkan aku jadi pengecut. Biarkan dunia menertawakanku. Karena memang begitulah ia memperlakukanku. Melahirkanku sebagai pedang, bukan sebagai burung.

Aku sudah sempurna saat dibenamkan dalam air dingin, tapi mengapa sekarang aku merindukan panas itu?

Aku tak lagi sempurna. Aku cacat. Aku rusak. Dan tak ada gunanya memperbaikiku. Karena aku menikmati tiap toreh itu.

Aku tak lagi sempurna. Aku terkoyak. Aku berdarah. Dan tak ada gunanya mengobatiku. Karena aku menikmati tiap tetes warna merah itu.

Warna yang sama dengan matanya.

”Aku lelah.” katanya padaku, pada sore yang lain.

”Aku lelah dengan hitam itu. Aku lelah berusaha menutup mataku darimu. Aku lelah dengan dunia.”

Aku tahu itu. Tapi tahukah engkau? Lelah itu bahkan telah lelah mengejarku.

Ia tak pernah menyentuhku.

Tapi tangannya terulur padaku, pada sore itu.

Dan senja ada di matanya.

“Raih tanganku.”

“Izinkah aku bertanya mengapa.”

“Karena aku melihat senja di matamu. Dan tak akan kubiarkan hitam merusaknya. Tidak. Tidak akan ada aku. Kau. Dunia. Aku tidak butuh semua itu.”

”Aku hanya butuh kita.”

”Dan kau tak perlu berpura-pura saat bersamaku.”

Kuraih tangannya. Dan panas itu membakarku hingga ke tulangku, meleburku menjadi abu. Dan ia membiarkan dirinya menjadi abu yang sama.

Aku memang benci dunia.

Aku memang tak memiliki dunia.

Tapi kini aku hidup dalam sepetak dunia itu untuk selamanya.

Karena aku ingin. Karena aku harus.

Sepetak dunia bernama dia.



Untuk dia yang terlupa.

Tuesday 17 February 2009

sebelum kita mengeluh

1. Hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik, pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara sama sekali
2. Sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu, pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apa pun untuk dimakan
3. Sebelum kamu mengeluh tidak punya apa-apa, pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta di jalanan
4. Sebelum kamu mengeluh bahwa kamu jelek, pikirkan tentang seseorang yang cacat fisiknya
5. Sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istrimu, pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Tuhan untuk diberi teman hidup
6. Sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu, pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin memiliki anak tetapi mandul
7. Sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu, pikirkan tentang orang-orang yang tinggal di jalanan
8. Sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu menyetir, pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan kaki
9. Sebelum kamu mengeluh tentang pekerjaanmu, pikirkan tentang pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan
10. Sebelum kamu menudingkan jari dan menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorang pun yang tidak berdosa
11. Dan sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu, pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat


Make your life meaningful, guys.

Sumber: sarikata.com, dengan sedikit perubahan