“Mba positif hamil.”
What? Aku? Hamil?
Sebenarnya itu sangat masuk akal. Sangat sangat masuk akal. Aku ga datang bulan bulan lalu, akhir-akhir ini aku sering banget jadi super duper malas, dan suka pengen makan macem-macem (dari pentol bakso sampai waffle). Rasanya seperti ada bola dinyalain tiba-tiba di kepalaku. Omigod...ternyata karena aku hamil. Ck ck ck.
Walaupun sempet agak kesal waktu dokternya nanya dengan nada curiga, “mba sudah pernah berhubungan?” dan kujawab “ya iyalah, Dok, saya ini sudah nikah, tahu! Dokter pikir saya perempuan macam apa?!” (oke, itu yang kubilang dalam hati. Aslinya aku cuma bilang, “Pernah. Saya sudah menikah.” dengan kalem), aku bersyukur juga. Dan lega. Kupikir, kalau memang sakitku ini karena aku hamil, aku rela sakit kayak gimana pun lagi, asalkan bayi di dalam kandunganku baik-baik aja sampai waktunya dia lahir nanti.
Tapi sudah kubilang, ceritaku ga seserhana itu.
Setelah dengan santainya bilang aku hamil, dokter bilang lagi, ”Tapi saya belum tahu pasti bagaimana kondisi kandungan mba, jadi nanti mba saya alihkan ke orang-orang dari bagian kebidanan.”
Excuse me?? Setelah 3 jam menelantarkan saya, Anda bilang belum tahu pasti kondisi saya??? Sekali lagi, itu cuma kuucapkan di dalam hati. Aku cuma ngangguk karena tenagaku sudah nyaris habis.
Kira-kira setengah jam kemudian (nice, berarti totalnya aku ditelantarkan 3,5 jam), datang seorang bidan dan dua orang asistennya. Dan itulah awal mula dari fase ”penyiksaan”-ku di Rumah Sakit.
Bidan itu menduga, ada ”sesuatu” di kehamilanku, jadi dia mau periksa. I’ll tell you, guys, pemeriksaannya sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttt banget. Kayaknya sih istilah pemeriksaannya FT atau apa gitu, tapi yang jelas uterusku diobok-obok, dan perutku yang nyeri ditekan-tekan. Bayangin aja, gimana aku ga jerit-jerit. Terus setelah aku diobok-obok lagi untuk kedua kalinya sama asistennya, bidan itu bilang ke dua asistennya, ”kayaknya sih KET, ya kan?”
Wuih, tega nian. Habis disiksa gitu, aku ga dikasih tau apa yang salah sama aku. Okelah, kupikir mungkin mereka belum yakin. Berikutnya, udah lewat tengah malam, aku dibawa ke Kamar Bersalin buat di-USG. Di kamar itu ada ruang-ruang bersekat tirai di kanan kiri, dan satu area sirkulasi di tengah-tengahnya. Kupikir aku bakal di-USG di salah satu ruangan biar tertutup, ternyata TIDAK. Aku diberhentiin di tengah-tengah ruangan, dan prosedur FT yang tadi diulangi lagi sama bidan yang lain, kali ini sambil di-USG.
OMG.....selama aku disiksa, aku dengar banyak hal yang bikin aku makin stress di sana. Ada ibu yang susah banget ngelahirin anaknya, sampai harus disemangati sama buanyak bidan. ”Ayo, ibu, ngejen yang panjang, jangan pendek-pendek kayak gitu!” ”Kalau bukan ibu, siapa yang mau ngelahirin anaknya??? Saya?? Ibu mau tukar, saya yang hamil, gitu???”
Akhirnya anak itu lahir juga, dan bidan yang bawa anak itu lewat tepat di sebelahku. Mau ga mau aku lihat anak bayi mungil yang masih berdarah-darah. Dan anak itu ga nangis waktu lahir, bahkan setelah bermenit-menit. Berarti ada yang ga beres. Dari ruang lain, aku dengar ada dokter yang bilang ke pasien di sampingnya, ”Ibu, sudah siap kan kalau ternyata anaknya sudah meninggal?”
Ya Allah, kuatkan aku!!!
Setelah aku di-FT untuk keempat kalinya (catat, EMPAT kali) sama bidan lain yang lebih sadis ngobok-ngoboknya, dan semuanya bilang, ”Iya, kayaknya KET”, aku sampai ke fase kedua dari paket penyiksaan itu.
Warning: mulai dari sini mungkin bisa bikin kamu merinding, karena aku detail. Buat yang masih single, kusaranin tutup blog ini, and find something fun on the net:-)
Tanpa peringatan apa pun, uterusku dimasukin selang. I screamed. Tapi itu baru permulaan. Lewat selang itu, mereka masukin cairan bening entah apa ke dalam uterusku, dan dalam jumlah banyak. Kalau aku disuruh bikin daftar rasa sakit yang pernah kualami seumur hidup, yang ini ada di peringkat dua. And I sreamed my lungs out. Aku sampai mencengkeram tangan bidan yang ngelakuin itu. Seandainya bisa, rasanya pengen kutendang deh mereka. “#@*%$!!!! Sakit banget, tahu!!!!!!!”
Nah, habis semua cairan itu masuk, rasanya makin perih aja, dan aku ngerasa seperti mau pipis. Tapi bidan bilang ga boleh. Terus, aku kembali ditelantarkan kira-kira 15 menit. $#@%*!!! Setelah itu, baru aku di-USG lagi. Aku bisa lihat layarnya juga, tapi emang dasarnya Kedokteran bukan bidangku, ya aku ga bisa bedain yang mana rahim yang mana anakku. Tapi aku lihat ada gumpalan kecil di dalam sana. Seandainya bisa—dan ini ga mungkin—rasanya aku pengen nyuruh anakku itu melambaikan tangan dan bilang, “Ibu, ibu, aku di sini!!!” biar aku tahu itu dia.
Dan bidan-bidan terus aja bilang aku kena KET, dan aku ga tahu maksudnya. Setelah itu, aku dipindahkan lagi ke ruang lain, yaitu ruang khusus untuk masalah kebidanan. Tepat di luar ruangan itu, ada belasan pasien-pasien yang berdarah-darah yang lagi diobati, dan aku dibawa lewat ruang itu. Nice.
Di ruangan yang kayak ruangannya psikopat nyiksa mangsa-mangsanya, aku dipasangin infus. Well, no problemo. Aku ga takut suntik, dan dipasangin jarum infus cuma sedikit lebih sakit dari disuntik. Yang jadi masalah adalah, waktu aku dipasangi kateter. Itu selang yang ditanamkan langsung ke saluran kencingku biar aku ga perlu turun dari tempat tidur kalau mau buang air. Wuih, sakitnya naudzubillah. Lama banget lagi masangnya, dan si asisten bidan (yang kayaknya masih cukup baru) pake salah masukin segala jadinya sempet diulang lagi. Di situ aku jerit lagi, dan ternyata masku (I mean, my hubby) ada di balik tirai dan dia julurin tangannya biar bisa megang tanganku. Aku ingat waktu itu aku mencengkeram tangannya keras banget. Itu rasa sakit ranking 3.
Setelah itu, aku dibiarin semalaman di sana. Katanya, besok pagi baru aku dipindahin ke kamar. Di luar tirai, aku sempat dengar bidan itu ngomong dan jelasin soal penyakitku ke masku, tapi ga begitu jelas.
Aku cape, cape banget. Rasanya malam itu terasa kelewat panjang buat badanku yang sudah nyaris ga bertenaga. Akhirnya aku ketiduran.
Besok paginya, setelah birokrasi yang luamaaa buat mindahin aku ke kamar, akhirnya aku dipindahin juga dari ruang psikopat itu.
Dan aku tanya masku apa yang bidan bilang.
Aku hamil di luar kandungan.
Astagfirullah..........
Aku memang hamil. Ada janin di rahimku, tapi dia ada di tempat yang ga seharusnya. Mestinya dia ada tepat di tengah-tengah rahimku. Tapi anakku itu ada di tuba falopi, menyumbat saluran indung telur sebelah kananku.
Artinya, dia ga mungkin bisa dipertahankan. Aku harus ngerelain dia di”jinakkan” dengan obat, atau sekalian diangkat dari sana. Cuma itu aja yang bisa dilakukan. Kalau kupertahankan, tuba falopiku yang bakal pecah, dan aku bakal pendarahan di dalam rahim, bahkan bisa sampai keracunan kalau sampai menyebar ke mana-mana. Kemungkinan paling buruk kalau itu sampai kejadian, seluruh rahimku harus diangkat.
Aku berulang kali nyebut istigfar waktu itu.
Itu anak pertamaku. Anak pertamaku. Tapi aku ga bisa memiliki dia.
Waktu itu hari Sabtu, dan dokter bilang kondisiku masih cukup baik jadi belum waktunya dioperasi. Aku bakal dikontrol lewat tes darah 6 jam sekali (yeah, darahku diambil 6 jam sekali. Untung aku ga takut disuntik).
Kondisiku cukup baik hari itu, menurut versi dokter. Dan katanya mungkin baru hari Senin aku dioperasi. Oh, bagus. Bagus banget. Aku harus bertahan sampai Senin sementara aku tahu pada akhirnya anakku ga akan selamat, walaupun itu demi keselamatanku.
Dokter memang bilang aku baik-baik aja. Tekanan darahku normal, lingkar perutku ga bertambah, HB-ku masih 11. Tapi yang kurasain jauh dari baik-baik aja. Sepanjang hari, setiap detiknya, aku berusaha keras nahan sakit yang masih juga ga mau pergi dari perutku. Teman-temanku datang untuk menjenguk, itu cukup membantu (guys, I love you all), tapi senyumku benar-benar maksa.
Semakin sore, aku semakin kesakitan. Tapi aku coba bertahan.
Maghrib, aku sudah mencapai batas ketahananku. Aku sudah ga sanguup lagi nahan rasa sakitnya. Benar-benar ga sanggup. Aku ngerasa ga tahu harus gimana untuk bisa tahan bahkan untuk 1 detik lagi.
Perutku terasa menggelembung, dan nyeri luar biasa. Aku ga bisa jelasin gimana sakitnya lewat kata-kata. Yang jelas itu rasa sakit ranking 1. Aku bahkan sempat mikir apa aku bakal mati sebentar lagi.
Jam 7 malam. Dokter datang ramai-ramai ke kamarku, dan aku di-USG lagi, kali ini untungnya tanpa FT. Dan dokter bilang, aku pendarahan. Lingkar perutku yang nambah itu buktinya. Keputusan diambil. Aku naik ke meja operasi saat itu juga. Lupakan hari Senin.
Salah satu pelajaran yang kuambil dari pengalaman pertamaku diopname di RS hari itu: ”sebentar lagi” yang diucapkan dokter, perawat, dan bidan, berarti ”minimal 1 jam lagi”. Dan begitulah, walaupun keputusan operasiku jam 7, aku baru dibawa ke ruang operasi jam setengah 10. Ga usah tanya gimana aku bisa tahan 2 setengah jam dalam keadaan sakit ranking 1. I feel like I’m dying. Literally. Di depan mataku ada jam dinding, dan aku menghitung tiap detik yang lewat terasa seperti satu jam. Dan 5 menit terasa seperti 5 minggu. Kedengaran hiperbola. Tapi memang itu yang kurasakan.
Di ruang operasi, aku dibius total, beda sama operasi caesar yang biasanya bius lokal. Aku bener-bener ga tahu kapan aku tidur, dan berapa lama aku tidur. Aku cuma sempat berdoa untuk terakhir kali sebelum dokter bilang aku mau dibius.
Aku berdoa semoga aku baik-baik aja.
Aku berdoa semoga kalau aku nantinya ga baik-baik aja, orang-orang yang kutinggalkan bisa melalui itu.
Entah berapa lama waktu berlalu, aku bangun. Aku ga ingat apa-apa soal operasi, dan kesadaranku belum sepenuhnya balik. Pandanganku kabur, dan kepalaku bergerak-gerak tanpa bisa kukendalikan. Aku dibawa ke ruang lain, Recovery Room, dan aku dengar suara ayahku.
Selama lebih dari 24 jam, aku tetap di Recovery Room, ruangan yang seperti akuarium. Dindingnya kaca semua. Semua orang bisa ngelihat aku dan pasien-pasien lainnya, yang dalam keadaan mengenaskan: pake baju pasca operasi warna hijau dan terkapar dengan selang infus dan kateter menempel di tubuh, menunggu kentut. Hey, I mean it. Pasien-pasien pasca operasi di Recovery Room baru dianggap “pulih” dan boleh kembali ke ruangannya kalau sudah kentut. Dan selama belum kentut, aku ga boleh makan dan minum apa pun. Yummy.
By the way, pasien-pasien di ruangan itu rata-rata umurnya 30 tahunan, dan habis operasi caesar. Aku pasien termuda di sana. Jauh lebih muda. Dan itu dipertanyakan. Bidan-bidan di ruangan itu jadi hobi tanya-tanya soal aku. Aku sekolah di mana, masku kerja apa, orangtuaku kerja apa, dsb, dsb. Salah satu sahabatku kemaren berkomentar, ”Kamu memang makhluk langka. Semua penyakit aneh-aneh dan parah kamu embat. Kamu nikah muda. Dan di usia muda itu kamu ngembat penyakit baru yang ga semua WANITA dapat. Extreme, dude, extreme.”
Finally oh finally, ususku mulai bekerja normal, dan berakhirlah penantian panjangku di dalam akuarium itu. RRGGHHH...rasanya gemes dan ga sabar banget pengen keluar. Di dalam akuarium kerjaanku cuma tiduran, bolak balik menghadap kanan kiri, sementara keluarga dan sahabat-sahabatku berdiri di luar sana, melambai-lambai sambil tersenyum ke aku. Ya ampun, ya ampun, aku pengen keluar!!!
Sampai di kamarku lagi (aku dibawa naik kursi roda), aku disambut teramat sangat hangat sama semua orang. Oh, I miss them so damn bad.
Selama dua hari berikutnya, aku harus bed rest total, makan banyak, dan melatih mobilitas badanku lagi. Aku latihan duduk, berdiri, dan jalan. Makananku bertahap dari bubur sampai akhirnya aku boleh makan nasi. Ibuku bilang, kondisiku sekarang sama seperti orang yang habis melahirkan. Sama persis. Dan aku belajar banyak hal dari itu.
So that is.
Itu salah satu pengalaman terburuk sekaligus paling berharga yang pernah kualami. Buruk karena aku ngerasain sakit yang ga pernah kurasain seumur hidup (aku bahkan ga tahu ada rasa sakit yang separah itu). Buruk karena aku kehilangan bayi yang mestinya jadi anak pertamaku. Buruk karena aku harus terkurung berhari-hari di Rumah Sakit sementara agendaku minggu itu penuh deadline.
Tapi berharga karena aku jadi lebih bisa mensyukuri hari-hari waktu aku sehat. Berharga karena aku jadi lebih bisa merasakan betapa pemurahnya Allah. Berharga karena aku jadi benar-benar tahu bahwa keluarga dan teman-temanku menyayangiku.
Berharga karena aku jadi sadar aku sudah diberi kesempatan lagi. Dan aku harus bisa menjalaninya dengan lebih baik.
Guys, kesehatan itu mahal. Mahal materi, mahal tenaga, mahal waktu, dan terutama mahal emosi.
Jangan pernah merasa hidup kalian ga berguna. Kita diberi hidup dan kesehatan buat terus menjalaninya, bukan untuk disia-siakan. Kita semua punya tugas masing-masing yang dibebankan di pundak kita. Ga perlulah kita mengeluh masalah kita lebih berat dari orang lain. Wasting time banget. Yang penting adalah gimana kita bisa menjalankan tugas-tugas kita itu dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab.
Perlu kita ingat. Sementara sekarang kita sehat, bisa menghirup udara dengan bebas, berjalan ke mana pun kita mau, bergerak sesuka hati, bicara dengan lancar, dan tertawa dengan lepas, di waktu yang sama, di luar sana, ada orang-orang yang harus berusaha keras bahkan dibantu alat untuk mempertahankan napas terus masuk ke paru-paru mereka, harus kehilangan kaki atau duduk dikursi roda, terkurung di tempat tidur tanpa bisa ke mana-mana, ga bisa mengatakan apa pun yang pengen dikatakan, bahkan ga bisa lagi tertawa, karena sakit.
Bersyukurlah karena kita sehat.
Bersyukurlah karena kita hidup.
Dan bersyukurlah dengan menjalaninya dengan sebaik-baiknya.
ehmm,,,aku dah baca ceritanya..............memang pengalaman pribadi itu lebih.....tapi aku salut.......
ReplyDeletekl pertanyaan sprti "apakah Anda sdh pernah brhubungan?", yah emang agak gmn gt tp itu pertanyaan wajar krn kl misal tdk pernah berarti patut dicurugai penyakit2 lain, mungkin ga hamil sprt itu........
VT=vagina tussae, ampe 4 kali????? yg bener aja...amat sgt tidak menyenangkan......aku gak tau si 4X itu srg tjd ataw ga, tp tetep aja.....gak bisa diminimalkan apa, kl setiap ktemu org di VT apa jdx, makan aja cuma 3 kali sehari.......(ga nyambung)......
tapi emang kl kita yg sakit, kitax nurut aja terserah bu wat, pak ter, bu dan aja....walaupun mnrtku sbg pasien kita juga punya hak kan,,,,,,
Allah memang selalu punya rencana untuk kita...
Pengalaman yg bener2 berharga selalu membuat kita lbh kuat dalam menjalani hidup.....
>_<]
Ya Allah, ak jd merinding sndiri denger ceritamu >.<
ReplyDeleteTapi jadinya pngalaman ini bikin qt lbih nghargai hidup qt =)
Alhamdulillah....
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete.................
ReplyDeletebeneran, aku cuma bisa termangu pas baca tulisanmu ini. Aku gak tau harus ngomong apa say, i try to give some courage words, but you have it better than me. One thing for sure, Allah loves you very much since He has given you a lot more strength than average girls to get through anything this far.. get well soon, honey, we love you..
thanks a lot...
ReplyDeletememang sesuatu itu terasa begitu berharga waktu kita nyaris kehilangan hal itu...
I'm glad I have you all^_^