Wednesday, 25 February 2009

being different is not easy



Di dunia ini banyak manusia aneh.

Itu yang kakakku dulu pernah bilang. Dia bilang gitu karena aku takjub waktu ngeliat video-video aneh yang ada di laptopnya. Beneran deh, banyak manusia aneh di dunia ini. Ada orang yang bisa menghipnotis lalat (lalatnya jadi mau disuruh muter-muter bola pake kaki mereka dengan posisi badan terbalik, kayak sirkus aja), ada orang yang punya tangan super cepat (saking cepatnya gerakan tangannya sampai ga keliatan waktu dia nyusun gelas-gelas jadi tumpukan-tumpukan yang rapi), dan lain-lain. Dia juga bilang gitu waktu aku dengar cerita pengalamannya waktu di Amerika, dia bilang ada salah satu temannya yang keturunan Indian asli, yang bisa baca pikiran orang. Awalnya dia ga percaya, tapi setelah kakakku coba langsung, ternyata cowo Indian itu beneran tahu apa yang ada di pikirannya waktu itu!

Aku sendiri ngerasa cukup banyak mengenal orang-orang yang aneh. Malah ada yang bilang aku ini magnet orang-orang aneh, karena dia pikir aku sering dikelilingi orang-orang yang aneh.

Well, sebenarnya orang-orang di sekitarku ga terlalu aneh. Ga satupun dari mereka bisa menghipnotis binatang, dan ga juga bisa baca pikiran. Aku ga punya teman-teman dengan kemampuan aneh bin ajaib seperti itu. Terus, kenapa teman-temanku disebut aneh?

Kepribadian mereka yang “agak berbeda” dari orang-orang kebanyakan.

Aku kenal orang-orang yang ngerasa berada di tubuh yang salah, masochist, schizo, sampai yang punya orientasi seksual yang ga seperti orang lain (dan anehnya aku kenal banyak orang jenis ini).

Temanku yang masochist, dia “hobi” ngiris pergelangan tangannya sendiri, terutama kalau dia lagi kalut. Dia baru bisa merasa kalau dia benar-benar hidup waktu darah keluar dari kulitnya. Tanpa ngelakuin itu tiap hari, dia merasa mati, kosong, dan ga ada di dunia. Dia juga ngelakuin itu waktu dia lagi punya masalah berat atau sakit hati. Karena dia bilang, rasa sakit yang dia rasakan di tangannya jauh lebih “menyenangkan” daripada sakit hati yang dia rasakan. Mungkin sebenarnya dia bukan masochist, tapi penderita Borderline Personality Syndrom, tapi aku ga yakin itu (aku ga ahli psikologi). Dia sendiri ngerasa dirinya normal.

“I’m not sick, I’m just a little different. Maybe.”

Walaupun aku memohon-mohon biar dia ga nyakitin dirinya sendiri lagi, dia ga bisa berhenti. Ada dorongan kuat dari dalam dirinya yang ga bisa mencegah itu.

Sahabatku yang schizo, dia salah satu sahabat yang paling kusayang sedunia. Dari luar, ga akan ada yang tahu kalau dia “sakit”. Dia kelihatan seperti orang-orang lain. Dia bicara, makan, dan bekerja seperti orang-orang lain.

Satu hal yang kecil yang berbeda dari dia yang mungkin disadari orang-orang di sekitarnya, dia workaholic. Dia bisa kerja seminggu penuh dengan total jam tidur cuma 5 jam atau bahkan ga tidur sama sekali. Dia kerja seperti robot. Orang-orang mungkin berpikir kalau dia memang pekerja keras, apalagi bidang kerjanya di Arsitektur bikin dia harus disiplin sama waktu.

Tapi ada sesuatu di balik itu yang ga dia bilang ke orang-orang. Setiap hari dia harus berhadapan sama “orang-orang”, “hal-hal”, dan “suara-suara” yang ga disadari orang lain, tapi selalu ada di sekitarnya, 24 jam penuh. Dia perlu mengalihkan pikirannya sendiri dari semua itu, makanya dia bener-bener berusaha menyibukkan diri. Dan kenapa dia amat sangat jarang tidur? Pertama, dari kecil memang dia punya kecenderungan insomnia (the same thing that I have). Yang kedua, dia takut tidur. Kalau dia tidur, dia bakal ketemu sama “dirinya” yang lain. Dan dia ga pernah bisa “menang” dari dirinya yang lain itu. Dia takut ga bisa bangun lagi begitu dia tidur.

Makanya, sering banget dia kerja gila-gilaan tanpa tidur seminggu penuh, sampai akhirnya beberapa bulan yang lalu dia collapse dan masuk rumah sakit. Sekarang dia diwajibin minum obat tidur setiap 3 hari sekali sama dokternya, ga peduli sesibuk apa pun dia waktu itu.

Yang terakhir, teman-temanku yang punya orientasi seksual yang berbeda, baik gay maupun lesbian.

Orang-orang lain mungkin nganggap mereka menjijikan, tapi buatku mereka sama seperti manusia lain, cuma ”sedikit berbeda”. Dan sedikit complicated.

Dulu aku cuma tahu tentang itu dari film-film, dan aku ga pernah terlalu mikirin soal hal itu. Tapi setelah aku kenal langsung sama orang-orang seperti itu, bahkan jadi sahabat mereka, aku jadi sadar, menjadi berbeda itu ga mudah. Sama sekali ga mudah.

Mereka ga pernah bisa bener-bener jadi diri mereka. Mereka terus nyembunyiin hal itu, bahkan dari sahabat terdekat mereka. Waktu akhirnya mereka jujur, aku tanya ”Kenapa ga bilang dari dulu?”

”Karena aku ga mau kamu menjauhi aku.”

Alasan yang simple, tapi aku bener-bener tertohok waktu dengar jawaban itu.

Padahal mestinya mereka tahu, se”berbeda” apa pun mereka dari orang lain, aku ga akan jauhi mereka.

Tapi begitulah, semua orang yang ”berbeda” pasti punya ketakutan seperti itu. Ga semua orang berpikiran terbuka. Dan ga semua orang bisa menerima perbedaan.

Dan akhir-akhir ini, aku sedikit (sebenarnya sangat) muak sama orang-orang yang ga bisa menerima perbedaan kayak gitu. Begitu tahu ada orang yang sedikit berbeda, mereka langsung menjauh, melabeli mereka seenaknya seolah-olah mereka itu bukan manusia, seolah-olah mereka itu noda yang ga boleh ada, yang mestinya disingkirkan.

Apa sih definisi normal?

Orang-orang cenderung menganggap apa yang disebut normal itu adalah apa yang dianut mayoritas.

Lalu yang minoritas dianggap apa? Sampah?

Kakakku dari kecil sering bilang ke aku, ”Kalau kamu mau orang lain percaya sama kamu, kamu harus bisa percaya orang lain.”

Seandainya semua orang punya prinsip seperti itu, mestinya hidup kita damai-damai aja. Ga perlu lah kita menghina atau ngomong jelek soal mereka yang dengar hal-hal yang ga didengar orang lain, atau yang suka sama jenisnya sendiri. Mereka toh ga menyakiti siapa pun.

Dalam hati aku mikir, mungkin justru karena kita sendiri orang-orang yang berbeda itu jadi semakin ”parah”. Seandainya kita menerima mereka dengan tangan terbuka dan berempati, mereka ga perlu merasa buruk, kotor, dan ngerasain sakit dari kata-kata tajam dan tatapan-tatapan merendahkan yang dihadiahkan ke mereka.

Semua orang memang punya pendapatnya sendiri-sendiri. Dan hak setiap orang juga buat nentuin apa yang mau mereka lakukan.

Tapi, semua orang juga punya hak untuk menjadi diri mereka sendiri kan?

Semoga kita semua bisa jadi orang yang bijaksana dalam memandang hidup.

Friday, 20 February 2009

dunia bernama dia

Aku benci dunia.

Saat kusampaikan itu, apa yang akan kau katakan? Mungkin ka
u akan berkata aku egois. Mungkin kau akan berkata aku munafik. Tapi itulah adanya. Aku tidak mengada-ada. Aku tidak mengarang-ngarang cerita.

Aku benci dunia.

Seandainya ada kata yang menggambarkan satu tingkat rasa di atas benci, aku akan menggunakannya.

Definisikan dunia untukku. Dan aku akan mendengar berbag
ai macam jawaban. Sebagian besar akan menjawab dunia adalah anugerah bagi manusia sebagai tempatnya lahir, tumbuh, dan mengejar cita-cita. Sebagian lagi dalam besar yang sama akan menjawab dunia adalah perjalanan, di mana di sepanjang jalan itu kita akan berpapasan dengan banyak orang; menyapa mereka, berbincang, dan saling membantu saat ada kerikil atau bahkan batu besar yang menghalangi langkah.

Dunia bagiku? Tidak ada. Tidak ada dunia bagiku. Hanya sekedar kata yang kugunakan untuk mewakili suatu ruang dan masa di mana aku dipaksa ada, meskipun hari-hari selalu berlari meninggalkanku, bahwa keberadaanku tidak pernah dan tidak akan pernah penting baginya. Dengan atau tanpaku, waktu akan terus berputar. Begitu juga dengan dunia.


Seperti itulah hubungan yang selama ini kujalin dengan dunia. Ia melahirkanku bukan karena ia ingin, tapi karena ia harus. Dan aku terus hidup bukan karena aku ingin, bahkan tidak juga harus. Aku hanya seonggok manusia yang tidak merasakan tanah meski kakiku berpijak di atasnya. Tidak merasakan udara meski dadaku bernapas. Tidak merasakan cahaya meski aku tidak buta. Tidak merasakan rasa meski tanganku menyentuh.

Lalu kenapa aku masih juga ada?

Karena aku terlalu pegecut untuk membebaskan diriku sendiri.

Dan karena aku pandai berpura-pura.

Aku akan ikut tertawa saat mereka bahagia. Aku akan ikut nelangsa saat mereka sedih. Aku akan bersimpati saat mereka butuh dukungan.

Aku teman yang sempurna. Dengan topeng yang sempurna. Aku telinga yang mendengarkan semua keluh kesah mereka. Aku bahu yang menjadi tempat mereka bersandar saat lelah. Aku lengan yang memeluk mereka saat merana dan tak kuasa menahan tangis.
Telah kuukir topengku dengan sempurna. Bahkan pemahat terbaik pun tak bisa menandingi lekuk senyum setulus yang kuciptakan, tidak juga mata sendu yang kulukis saat mereka mengutarakan betapa melelahkannya dunia. Dunia mereka.

Aku aktor yang sempurna. Dengan ekspresi tanpa cela. Dengan kata-kata indah tanpa terdengar dusta.

Dan kesempurnaan itulah yang membuatku membenci dunia.

Kenapa aku harus bersikap manis pada dunia jika dunia tidak bersikap manis padaku?

Orang-orang itu sudah terlalu lama menuntutku untuk memerankan kesempurnaan itu. Orang-orang itu sudah menempaku sedemikian keras seperti pandai besi menempa pedang terbaiknya. Yang tanpa cacat, tanpa retak.

Dan begitulah aku. Seperti pedang itu, aku terlalu hanyut dalam kesempurnaanku, hingga aku lupa seperti apa hidup yang sebenarnya. Seperti apa emosi yang sebenarnya. Meski aku bisa tersenyum, tertawa, dan bersedih, aku tidak bisa mengerti alasan untuk semua itu.

Seperti pedang itu, aku telah dibentuk lurus dalam garis yang sempurna, dan dibekukan dalam air yang dingin ketika panas masih menggerogoti kulitku, hingga aku menjadi sekaku dan sedingin besi. Kokoh bagi mereka yang memandangku. Tapi pernahkah mereka benar-benar memandangku?

Dan seperti pedang itu, aku memberi batas bagi mereka untuk tidak berada terlalu dekat denganku. Aku dapat melukai mereka kapan saja. Hanya jika aku ingin. Tapi selimut pedangku juga dirajut dengan sempurna.

Sudah kukatakan aku sempurna. Ragaku terlalu pandai membungkus ketiadaan jiwa di dalamnya. Tidak ada yang perlu dan akan tahu bahwa aku tidak memiliki diriku. Seperti aku tidak memiliki dunia.

”Hei!”

Tepukan ringan hinggap di bahuku, menyalakan alarm dalam tubuhku untuk kembali mengenakan topeng terbaikku.

”Terima kasih mau menemaniku!”

Aku tersenyum. Senyumku yang sempurna.

”Tentu saja. Itu gunanya teman.”

Ia tertawa senang, merangkul tubuhku dengan lengannya yang panjang dan ramping, membawaku duduk di bangku tepat di sampingnya.

Aku sudah pernah mengikuti kelas ini. Secara infromal. Bertahun-tahun yang lalu. Dan aku cukup yakin sekarang pun, setelah sekian lama, aku masih memiliki apa yang kupelajari dulu.

Tapi aku teman yang sempurna. Kutemani dia dengan resiko bosan yang tinggi. Apa bedanya? Dunia toh tidak pernah berbaik hati padaku dengan cara apa pun.

Mereka di ruangan itu segera menyukaiku, meski baru pertama kali bertemu. Seperti itulah mereka selalu memperlakukanku. Sebagai seseorang yang manis laku dan ucapnya.

Hari ini akan berakhir sama seperti hari-hari sebelumnya. Dalam sekejap yang tidak bisa kurasakan. Dan akan segera berganti dengan hari baru yang masih juga akan selalu sama.

Tapi aku salah. Ada cacat dalam hariku yang seharusnya kulalui dengan sempurna.

”Gantikan aku,”

Katanya dengan nada ketus yang jarang kudengar, menghujamku dengan serta merta, diiringi tatapan nyalang yang tak bisa kuelakkan.

”Aku tidak mau satu kelompok dengannya. Gantikan aku. Dengan siapa saja.”

Dan aku dapat membaca kata selanjutnya yang ingin diucapkannya, tertulis jelas di sepasang mata yang memandangku seperti noda yang seharusnya tak ada.

Selain dia.

Aku aktor yang sempurna. Aku bersikap manis pada semua orang, dan semua orang bersikap manis denganku, terperdaya topeng yang membungkus erat selongsong kulit wajahku. Tapi tidak dengannya.

Sekali itu sadarlah aku, aku telah dibenci. Oleh orang yang baru saja kutemui. Yang bahkan tak kuketahui namanya.

Aku bertanya-tanya apa yang salah pada topengku, hingga berhari-hari ke depan mata nanar itu masih juga terbakar merah oleh sesuatu yang tidak bisa kumengerti saat menatapku. Bencikah itu? Atau sesuatu di luar kemampuanku untuk menerjemahkan emosi?

Aku tak tahu.

Dan seharusnya aku tak peduli.

Tapi ia berbeda. Ia umpama pengecualian dalam duniaku yang semu. Ia seperti orang asing yang semestinya tak ada di sana. Sepertiku.

Dan itulah jawabnya.

Setelah berminggu-minggu aku termangu dengan ia yang menganggapku seolah ancaman bagi hidupnya yang selama ini tenang dan tertata, meski aku tak pernah bertukar sepatah kata pun dengannya. Ia akhirnya memberiku jawabnya. Jawab yang memberitahuku mengapa ia berbeda.

“Hentikan,”

Katanya sore itu, saat aku sampai di muka pintu, bergegas ingin pergi dan tak ingin jadi orang terakhir yang bersamanya saat itu. Lengannya terulur menghalangi jalanku. Aku mendongak, dan untuk pertama kalinya aku benar-benar memandang matanya. Coklat tua yang lebih dalam dari yang bisa kuperkirakan dan kutempuh. Memancarkan warna merah seperti biasanya, yang masih juga belum kumengerti.

“Lepaskan itu,”

“Apa?”

“Lepaskan topengmu.”

“Apa maksudmu?”

“Kubilang, lepaskan topengmu. Tanggalkan senyummu, buang semua kata-kata manismu.”

Aku hanya diam, memilih untuk berpura-pura, seperti biasa. Mata coklat itu melembut, warna merahnya memudar. Tapi kata-katanya mengiris-ngiris topeng sempurnaku, perlahan tapi pasti.

”Aku muak denganmu yang seperti itu.”

”Izinkan aku bertanya mengapa.”

Merah itu kembali menyala. Tapi kali ini aku tidak menghindarinya, sekalipun aku tidak memahaminya.

”Aku melihatnya di matamu,” bisiknya dengan tajam, meretakkan beberapa keping dari topengku, ”warna merah yang sama.”

Ternyata aku salah. Dia bukannya berbeda. Dia justru begitu serupa denganku, jauh lebih serupa dari yang bisa kuduga.

Tapi lelaki bermata coklat terbakar itu lebih kuat menghadapi dunia. Tak sejengkal pun dari wajahnya yang terlapisi topeng, tak ada selapis baju besi pun yang digunakannya, seperti yang kulakukan. Ia jujur pada dunia.

Ia tahu dirinya membenci dunia, dan ia ingin dunia tahu itu. Ia tidak bersusah payah memahat topeng, tapi membiarkan dunia melihat warna merah di matanya itu.

”Tidakkah kau lelah?” tanyanya.

Warna merah itu melembut, dari api menjadi senja.

”Kau membiarkan dirimu kalah dengan sikap manismu. Dunia menertawakanmu.”

Aku tahu itu. Tapi tahukah engkau? Telingaku sudah tuli akan tawanya.

”Biarkan aku jadi pengecut.”

Ia menyahutiku dengan diam. Tatapan kami bertemu. Dan untuk pertama kalinya, kulihat warna merah yang sama pada wajahku, di dalam matanya. Ternyata ia benar.

Tangannya mengendur, memberiku jalan untuk lari. Tapi kakiku sudah kelu.

”Tetaplah hidup.”

Dan kupandangi punggung itu menjauh.

Hariku tak lagi sama.

Ia membawa cacat dalam kesempurnaan yang kubangun dengan penuh peluh. Ia menyusup ke dalam duniaku melalui celah kecil yang tak kusadari. Ia bersembunyi dalam titik buta yang luput dari indraku.

Ia terus mengawasiku dengan mata merahnya. Tapi kini aku tak lagi takut. Warna merah yang seolah membakar kulit dan topengku itu bagai candu bagiku. Aku sanggup hidup tanpa menghirup udara, tapi aku merasa akan mati tanpa rasa panas itu.
”Aku membencimu.” katanya padaku, pada sore yang lain.

”Aku membencimu, seperti aku membenci semua orang. Dan aku jauh lebih membencimu setelah kutemukan warna itu di matamu.”

Kubiarkan diriku mati rasa. Kunikmati setiap bara yang kulihat di matanya. Dan sekalipun ia akan menghanguskanku menjadi abu, aku yakin aku tidak peduli.

”Tapi kau ada di sana.”

Bisikannya menyentuh telingaku yang tuli, menggelitik pendengaranku, membangunkan pikiranku yang tertidur.

“Kau penyusup dalam duniaku. Langkahmu tak terdengar olehku. Saat aku telah terbiasa dengan hitam, satu-satunya warna yang pernah kukenal, tiba-tiba kau hadir. Kau menjadi satu-satunya warna merah yang tertangkap mataku.”

Sekali lagi kulihat senja di sana.

”Aku ingin menghalaumu. Sudah kunyalakan api agar kau menjauh, lenyap menjadi warna hitam yang sama. Tapi kau selalu ada di sana. Aku ingin lari darimu, tapi tak selangkah pun aku sanggup berpaling.”

Jemarinya terulur ke wajahku, tapi dihentikannya sebelum sempat kurasakan sepanas apa kulitnya. Ia tak pernah menyentuhku.

”Aku tak ingin kau lenyap.”

Dan kututup hariku dengan kembali memandang punggungnya menjauh.

Biarkan aku jadi pengecut. Biarkan dunia menertawakanku. Karena memang begitulah ia memperlakukanku. Melahirkanku sebagai pedang, bukan sebagai burung.

Aku sudah sempurna saat dibenamkan dalam air dingin, tapi mengapa sekarang aku merindukan panas itu?

Aku tak lagi sempurna. Aku cacat. Aku rusak. Dan tak ada gunanya memperbaikiku. Karena aku menikmati tiap toreh itu.

Aku tak lagi sempurna. Aku terkoyak. Aku berdarah. Dan tak ada gunanya mengobatiku. Karena aku menikmati tiap tetes warna merah itu.

Warna yang sama dengan matanya.

”Aku lelah.” katanya padaku, pada sore yang lain.

”Aku lelah dengan hitam itu. Aku lelah berusaha menutup mataku darimu. Aku lelah dengan dunia.”

Aku tahu itu. Tapi tahukah engkau? Lelah itu bahkan telah lelah mengejarku.

Ia tak pernah menyentuhku.

Tapi tangannya terulur padaku, pada sore itu.

Dan senja ada di matanya.

“Raih tanganku.”

“Izinkah aku bertanya mengapa.”

“Karena aku melihat senja di matamu. Dan tak akan kubiarkan hitam merusaknya. Tidak. Tidak akan ada aku. Kau. Dunia. Aku tidak butuh semua itu.”

”Aku hanya butuh kita.”

”Dan kau tak perlu berpura-pura saat bersamaku.”

Kuraih tangannya. Dan panas itu membakarku hingga ke tulangku, meleburku menjadi abu. Dan ia membiarkan dirinya menjadi abu yang sama.

Aku memang benci dunia.

Aku memang tak memiliki dunia.

Tapi kini aku hidup dalam sepetak dunia itu untuk selamanya.

Karena aku ingin. Karena aku harus.

Sepetak dunia bernama dia.



Untuk dia yang terlupa.

Tuesday, 17 February 2009

sebelum kita mengeluh

1. Hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik, pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara sama sekali
2. Sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu, pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apa pun untuk dimakan
3. Sebelum kamu mengeluh tidak punya apa-apa, pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta di jalanan
4. Sebelum kamu mengeluh bahwa kamu jelek, pikirkan tentang seseorang yang cacat fisiknya
5. Sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istrimu, pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Tuhan untuk diberi teman hidup
6. Sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu, pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin memiliki anak tetapi mandul
7. Sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu, pikirkan tentang orang-orang yang tinggal di jalanan
8. Sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu menyetir, pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan kaki
9. Sebelum kamu mengeluh tentang pekerjaanmu, pikirkan tentang pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan
10. Sebelum kamu menudingkan jari dan menyalahkan orang lain, ingatlah bahwa tidak ada seorang pun yang tidak berdosa
11. Dan sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu, pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat


Make your life meaningful, guys.

Sumber: sarikata.com, dengan sedikit perubahan

Monday, 16 February 2009

serupa malam

Siapa yang memutuskan pagi adalah awal? Siapa pula yang memutuskan malam adalah akhir dari hari?

Bagiku pagi hanya formalitas, yang akan terus bangun ke permukaan langit tanpa jera. Dan malam terlahir hanya untuk mendampinginya, memberinya waktu untuk sejenak menidurkan sinarnya.

Tapi aku tahu seseorang yang tidak menganggapnya begitu.

Satu lagi malam kulewati, dan sekali lagi aku berusaha untuk menyibak selimut kegelapan yang menyelimuti bumi, hanya untuk melihat matahariku terbit.

Tapi tidak.

Pagi telah lama membuka matanya. Sinarnya menyusup anggun melewati bingkai jendelamu, meninggalkan bayang-bayang pucat di lantai kamarmu. Dan kau di sana. Wajahmu bahkan lebih pucat dari bayang-bayang itu.

Kalau memang pagi adalah awal, kenapa kau masih juga berkelana dalam mimpimu? Kenapa kau masih juga membiarkanku duduk diam dalam ruang kesunyian tanpa pijar dari bola matamu? Sambil terus menantimu berkata, ”selamat pagi”.

Seharusnya aku tahu. Aku telah mengenalmu cukup lama untuk tahu bahwa kau orang yang adil. Selalu adil. Bahkan pada matahari dan bulan. Bagimu tidak ada hal yang dapat mengaturmu untuk apa pun. Tidak juga untuk bangun dan tidur. Tidak juga untuk menentukan mana yang awal dan mana yang akhir.

”Kau tahu?”

Hari itu kau genap 12 tahun, dan alam seolah ikut merayakannya bersamamu. Langit mengenakan birunya yang terbaik, dengan selaput tipis awan yang menggantung menghiasinya. Matahari tidak terhalang apa pun untuk menyampaikan cahayanya yang paling cemerlang, hanya untukmu. Bahkan malam juga mengistimewakanmu. Gaun kegelapan langit berkilau dalam rimba bintang, berpendar dalam keheningan yang kau cintai, ditemani bulan yang menjadi lentera pribadimu.

”Ayah memberikan tempat ini untukku!”

Napasmu terengah-engah, dinginnya malam tak sanggup menahan peluh untuk membasahi wajahmu. Tapi aku tahu ada kebahagiaan yang tak terkira membuncah dalam dadamu. Terlalu besar untuk diungkapkan dalam kata, terlalu indah untuk ditorehkan dalam aksara. Tapi senyummu meneriakkannya dengan lantang.

”Dulu ini tempat bermain ayah saat kecil,” kau mulai bercerita.

Aku duduk di sampingmu, di bawah pohon besar yang memayungi kita dengan lengan-lengan dahannya yang kokoh. Dedaunannya bergemerisik merdu ditiup angin malam. Dan kudengarkan kau bercerita.

”Di sini ayah belajar tentang hidup. Di sini ayah belajar bahwa alam adalah saudara kita, dimana tanah dan langit selalu setia memeluk raga kita tanpa pernah lelah, meskipun terkadang kita menyakitinya,”

Kau belai rerumputan di bawahmu dengan lembut, seolah membelai seorang adik. Kembali kulihat senyummu itu. Senyum yang pantas disandingkan dengan indahnya bulan di panggung malam.

“Dan ayahmu memberikannya untukmu?”

“Ya,“ matamu menatap lurus padaku, memenjarakanku dalam keteduhannya.

“Dulu aku pernah ke tempat ini. Dan langit malam yang terindah kutemukan saat itu.“

Wajahmu menengadah, matamu berlabuh jauh di atas sana, ke langit malam yang seolah sengaja menghias diri secantik-cantiknya untukmu malam ini. Kau mendesah, dan tahulah aku betapa kau merindukan wajah langit yang seperti itu.

“Dulu aku masih terlalu kecil, dan ayah tidak pernah mengizinkanku untuk datang ke sini lagi. Mungkin karena beliau tahu kalau dia memperbolehkan, aku akan datang pada malam hari, saat di mana ayah ingin aku aman di dalam rumah.“

Senyummu berubah menjadi tawa, mengalir dari bibirmu yang tulus berkata.

“Tapi sekarang tidak lagi. Ayah akhirnya memutuskan aku sudah cukup besar untuk mendaki kemari seorang diri. Dan aku sudah cukup besar untuk mulai belajar sepertinya,“

Matamu masih juga belum lepas dari wajah itu, menyusuri tiap kerlip bintang yang membalas senyummu. Aku di sana memandangimu. Hanya satu saja sisi wajahmu, tapi itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku cemburu pada langit yang begitu kau cintai. Tapi aku tahu aku memiliki apa yang langit malam tidak miliki.

Matahari pribadiku.

Lalu tiba-tiba kau menoleh, dan kulihat semua sisi dari wajahmu.

“Ternyata benar, langit malam yang terindah ada di sini.“

Aku tersenyum menanggapi ungkapan cintamu pada malam.

“Syukurlah kau memiliki tempat ini.“

”Ya. Dan kau tahu?”

Kutemukan lagi senyum itu, yang mengungkapkan lebih banyak bahagia dari sebelumnya.

”Ini bahkan lebih indah dari saat ini. Karena kau menemaniku.”

Dan saat itu aku berharap matahari tak pernah terbit.

Aku bangkit dari dudukku, untuk berdiri lebih dekat denganmu, membungkuk untuk mengecup keningmu. Dan pada kau yang masih juga bercengkrama dengan mimpi, aku membisikkan dua kalimat yang sama seperti yang kuucapkan kemarin pagi. Dan kemarinnya lagi. Dan berpuluh-puluh kemarin yang lain.

”Selamat pagi. Aku merindukanmu.”

Matahari merayap semakin tinggi, dan kini ruanganmu terang benderang. Hanya ada aku di sana. Menggenggam erat tanganmu yang lemah, menemani tubuhmu yang rapuh.

Aku masih berharap matahariku terbit.

”Kau tahu?”

Kuingat lagi saat itu, bertahun-tahun setelah bukit itu resmi menjadi milikmu. Malam masih juga berwajah manis, seperti malam-malam sebelumnya yang tak pernah kau lewatkan. Seperti juga aku yang tidak pernah melewatkan untuk bersamamu.

”Bulan tidak diperlakukan dengan adil.”

”Kenapa?”

”Tidakkah kau lihat? Bulan begitu cantiknya di atas sana. Dan dia tidak pernah tidak memberi terang saat malam tiba. Aku tahu cahaya bulan tidak seterang matahari, tapi cukup untuk menuntunku menemukan jalan pulang. Cukup untuk tetap memberi hidup pada malam. Tapi orang-orang selalu melewatkannya. Mereka mengganggap bulan hanya sebagai pendamping tidur di luar jendela mereka yang tertutup rapat oleh tirai. Dan bulan masih juga ada di sana tanpa mengeluh, terus menemani tidur mereka.”

Aku tersenyum. Pembelaan terhadap bulan hanya keluar dari mulutmu. Tapi yakinlah, aku tidak menganggapnya omong kosong. Tidak juga aku iri pada bulan, walaupun aku lebih suka matahari.

”Tidakkah kau berpikir matahari juga diperlakukan dengan tidak adil?”

”Kenapa?”

”Mataharilah yang disalahkan untuk setiap pagi yang terlalu dingin, dan siang yang terlalu melelahkan. Padahal matahari juga tidak pernah tidak memberikan semua cahaya yang dimilikinya, agar orang-orang dapat menemukan tujuannya. Matahari juga tidak pernah mengeluh, sekalipun harus membiarkan dirinya panas terbakar untuk dapat memberikan hidup pada pagi. Siapa yang tahu apakah panas itu menyakitinya atau tidak?”

Kau terdiam mendengarkanku bicara. Aku tahu kau selalu adil, bahkan pada bulan dan matahari.

Senyummu merekah.

”Temani aku melihat matahari terbit besok pagi,”

Aku tidak pernah bisa menolak permintaanmu. Aku mendaki bersamamu untuk melihat matahari terbit esok paginya. Dan beratus-ratus pagi setelahnya.

Aku tahu kau selalu adil.

Dan kecintaan pada matahari membuahkan sebuah permintaan baru.

”Kau tahu?”

Saat itu kita hampir dewasa. Dalam sekejap waktu kita akan menanggalkan kulit kepolosan dan keluguan yang kita miliki. Kita akan belajar tidak hanya di bukit itu, tapi juga di bukit-bukit yang lain.

”Matahari adalah pengabul permohonan yang baik,”

”Kenapa?”

”Selama ini bintanglah yang selalu jadi tempat permohonan. Mungkin karena bintang yang walau kecil namun berkilau di antara luasnya langit. Tapi sekarang aku sadar matahari juga bisa melakukannya. Bukankah matahari juga walau mungkin itu menyakitinya, ia tetap berjuang memancarkan sinar untuk melelehkan dinginnya pagi? Karenanya aku yakin matahari bisa mengabulkan permohonan kita.”

Di tanganmu tergenggam sebuah botol kaca. Bening, tampak rapuh. Tapi kau mempercayakan permohonan rahasia kita padanya. Kau yakin kaca itu akan menjaga baik-baik dua carik kertas berisi pesan kita pada matahari, saat kau menguburkannya di bawah pohon besar itu. Pohon yang selalu memayungi kita, dalam dinginnya malam saat bulan hadir dan dinginnya pagi saat matahari menyapa.

”Sejauh dan selama apa pun kau akan pergi, saat kau kembali dan tidak menemukanku di mana pun,cari aku di sini. Aku akan selalu ada, di bawah pohon ini, berdoa semoga matahari mendengar permohonanmu.”

Walaupun berat bagiku untuk meninggalkanmu saat itu, tapi aku tetap tersenyum. Menjawab iya saat merengkuhmu dalam pelukku. Dan aku bersumpah akan mendaki kembali ke tempat ini. Sejauh dan selama apa pun aku pergi.

Aku tahu kau selalu adil.

Tahukah kau matahari sudah merangkak sampai ke tempat tertingginya di langit? Tapi kau tidak juga bangun untuk menyapanya. Kau masih ingin membuatnya menanti, membuatku menanti.

Tahukah kau betapa aku telah begitu merindukanmu? Aku telah kembali untukmu, tapi aku tidak bisa sepenuhnya memenuhi sumpahku. Aku tidak mendaki ke sana. Tidak tanpamu.

Aku kembali duduk, dan memulai hariku seperti berpuluh-puluh hari sebelumnya sejak aku kembali. Menanti senyummu dalam diam, membelai wajahmu dalam hening. Menggenggam erat tanganmu, tidak berdaya melawan ketidakberdayaanmu.

Aku ingin matahariku terbit.

Adilkah bagi kami untuk terus menantimu menyapa kami lagi?

Terlalu mulukkah harapan itu?

Senja menghampiri, mengingatkan siang untuk kembali ke balik cakrawala, dan mempersiapkan singgasana langit untuk ditempati bulan.

Bayang-bayang pucat itu telah berganti menjadi sapuan warna jingga yang remang. Wajahmu masih sepucat sebelumnya, dan tanganmu masih terasa dingin dalam genggamanku. Masih juga kau ingin aku menanti.

Sampai sejauh mana kau hendak berkelana dalam mimpimu? Seindah apa tempat itu hingga pesonanya mampu membuatmu bertahan menjelajahinya? Seberapa rupawan wajah langit di sana hingga sanggup mencurimu dariku?

Aku memang tidak selalu adil. Tapi aku berusaha memenuhi sumpahku. Sumpah untuk kembali. Dan satu sumpah rahasia yang tak terkatakan.

Sumpahku untuk mewujudkan permohonan di bawah pohon itu. Tak peduli matahari sudah mendengarnya atau tidak.

Senja terlelap dengan cepat.

Lihatlah. Bulan telah datang kembali. Tak bergeming dalam keanggunannya di antara tirai bintang, berusaha membisikimu dengan cahayanya yang samar-samar menyusup di antara bingkai jendelamu.

Lihatlah. Betapa malam selalu memberi senyum yang terindah bagimu. Betapa ia mencintaimu sebesar kau mencintainya.

Dan aku tahu kau selalu adil.

Kau tidak akan membiarkan kami terus menanti. Kau tidak akan pernah bisa berkelana terlalu lama dan melewatkan bulan. Kau tidak akan menelantarkanku tanpa memberi jawaban.

Dalam tangis-tangis sunyi dan isak-isak lirih di sekelilingmu, akhirnya kau menjawab sapaku. Tidak dengan selamat pagi, tidak dengan selamat malam.

Sampai bertemu lagi.

Malam akhirnya menawanmu untuk selamanya. Menjadikanmu salah satu bintang yang mendampingi bulan.

Di sana kau berbaring dalam abadimu. Di bawah pohon itu. Di mana aku akan selalu bisa menemukanmu, sejauh dan selama apa pun aku pergi.

Mungkin matahari tak pernah mendengar permohonanku. Tapi biarlah bumi menyampaikan yang tak terkatakan itu padamu.

Dia akan menjadi pengantinku di sini.

Selamat malam, matahariku. Aku merindukanmu.


Dalam kenangan tentang sahabat.

Friday, 13 February 2009

tomodachi (nb: bukan tokoh antagonis 21th Century Boys)


Sahabat adalah orang yang akan mengerti saat kita mengatakan "aku lupa",
menuggu selamanya saat kita mengatakan "tunggu sebentar",
tetap berada di samping kita saat kita mengatakan "tinggalkan aku sendiri",
dan membukakan pintu bahkan sebelum kita mengatakan "bolehkah aku masuk?"



semua orang pasti punya teman dekat, walaupun mungkin dalam bentuk yang berbeda-beda. ada yang berteman dekat sejak kecil sampe bangkotan, atau mungkin punya teman dekat binatang peliharaan, bahkan saudara sendiri pun bisa jadi sahabat.

apa sih definisi sahabat?

semua orang juga pasti punya pendapat yang berbeda-beda. mungkin ada yang setuju sama definisi sahabat seperti yang di atas (walaupun agak berlebihan di bagian "menunggu selamanya"^^), mungkin ada yang punya definisi lain.

buatku, sahabat ga harus sempurna-sempurna banget. dia ga harus ada terus di sampingku, ga harus selalu ngasih kado waktu ulang tahunku (oh, screw my b'day!), dan ga harus bisa nraktir aku waktu bokek^^ buatku, sahabat adalah orang yang mau menerima aku apa adanya, ga menuntut aku untuk jadi orang lain yang bukan aku, tapi siap mengingatkan aku waktu aku bikin kesalahan.

dan buatku, sahabat ga harus orang yang (dari segi jarak) dekat. bahkan orang-orang yang tinggal di pulau dan benua seberang bisa jadi sahabatku. walaupun jarang ketemu, kontak cuma pake messenger atau email (telpon mahal, bang^^), itu bukan masalah. mereka tetap bisa jadi supporter and motivator buatku. jauh di mata dekat di hati^^

sayangnya dunia ga seindah dongeng. aku ga punya sahabat yang selalu sama-sama banget dari zaman bayi sampe sekarang seperti yang ada di komik-komik. dan persahabatan juga ga selalu mulus begitu saja kayak jalan tol.

waktu masih SMP dan SMA, sahabatan terasa banyak senengnya. gila-gilaan, gokil-gokilan, pokoknya kompak abis. masuk kuliah, sudah agak beda, apalagi masuk jurusan yang hampir selalu berkelompok buat ngerjain tugas-tugas. mungkin karena kalau di SMA, ketemu teman cuma di sekolah, kalau di kampus kadang bisa seharian penuh (atau seminggu penuh, tergantung seberapa edan tugasnya^^) sama teman, jadi bisa lebih kenal sifat teman sampai ke akar-akarnya. ada yang rajin, ada yang hobinya nyuruh-nyuruh doank, sampe yang bisanya copy paste doank (penyakit standar generasi muda). apalagi kalau sudah kepentok tugas yang super njelimet dan stressful, nah, mulailah muncul-muncul konflik-konflik internal. paling parah kalau deadline udah semakin dekat, waktu tingkat cape udah hampir sampai ke titik tertinggi, wah, keluar semua deh sifat-sifat terpendamnya.

ada banyak gejala yang muncul kalau itu kejadian: ada yang langsung give up dan ga mau tahu lagi sama tugas kelompok, pokoknya sisa penderitaan dilimpahkan ke anggota kelompok lain, ada yang misuh-misuh dalam banyak bahasa termasuk isi kebun binatang disebut semua, ada yang mimisan, ada yang pingsan, ada yang mulai ketawa-ketawa ga jelas....kacau deh pokoknya.

tapi se"unik" apa pun teman atau sahabat, tetap aja, they're precious. hampa kan hidup tanpa teman. apa serunya hidup tanpa teman yang bisa diajak bercanda, nonton bareng, nongkrong, gila-gilaan ngelakuin hal-hal bodoh yang ga penting, yang bisa disemprot waktu lagi bad mood, dijitak waktu lagi ga nyambung, ditendang waktu lagi nyebelin, diusir waktu lagi jayuz, dan lain-lain?^^

karena itu, guys, mari kita sayangi teman-teman kita,ga peduli lagi hari valentine atau ga.

have a colourful days with your friends, friends!^^


Rukun sahabat:
1. Mau ngerti kalau lagi error
2. Mau nolongin kalau lagi butuh
3. Mau ngehibur kalau lagi sedih
4. Mau maafin kalau lagi khilaf
5. Mau nraktir kalau lagi bokek^o^

For all my bestfriends: nana, momoko, arisu, sky, rain, and my acer notebook^^

hajimemashite, zihuatanejo desu

Life is an irony.

makin lama aku main yakin kalau itu benar. contoh yang paling gampang:

waktu kuliah lagi padat-padatnya, dengan dosen-dosen baik hati yang ngasih tugas gila-gilaan yang bikin mahasiswanya lupa makan dan tidur (bahkan mandi^^), rasanya pengen cepet liburan. biar bisa santai tanpa dirongrong deadline-deadline mematikan yang hobinya ngejar-ngejar sambil bawa scythe seperti shinigami.

tapi begitu liburan tiba, saat tas kuliah ditelantarkan di pojok kamar, buku-buku referensi terbuang entah ke mana, dan semua alat tulis dan gambar (termasuk rapido, kalkir dan laptop) tersimpan dengan manis di tempatnya tanpa disentuh sama sekali, penyakit baru pun melanda....

penyakit bosan, saudara kembar beda rahim-nya penyakit malas (see? dua-duanya sama-sama lima huruf. kebetulan yang indah)

hari-hari kerjaannya cuma makan, tidur, ngenet, baca komik, tidur lagi....

rasanya hampa juga ga ada si tugas dan si deadline yang jago bikin lingkaran hitam di bawah mata semakin gede.

semua novel udah dibaca, semua komik udah dilahap, film-film dan anime-anime keren udah selesai didownload dan ditonton, apa lagi yang bisa dilakukan?

let's try to do some blogging....

paling ga ada tambahan kegiatan selain makan dan tidur^^

minna-san, yoroshiku onegaishimasu....

met liburan untuk men-charge badan sebelum kembali ke semrawutnya dunia kuliah.


-World is all that is the matter- wittgenstein